SUATU TINJAUAN TENTANG PENYUSUNAN ANGGARAN PENJUALAN PADA PT.ASTRA INTERNASIONAL, Tbk.-DAIHATSU CABANG BOGOR

Standar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul
Perusahaan tumbuh dan berkembang seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas yang dijalankan oleh perusahaan. Pertumbuhan perkembangaan suatu perusahaan menuntut kemampuan dan kecakapan para pengelola dalam menjalankan perusahaannya, termasuk didalamnya kemampuan dalam mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapi oleh perusahaan. Keputusan – keputusan yang tepat oleh manajer berdasarkan hasil pengukuran dan pengevaluasian terhadap pelaksanaan aktivitas yang dijalankan oleh perusahaan.
Salah satu tujuan perusahaan adalah untuk mendapatkan laba atau keuntungan yang optimal sebagai sumber pembiayaan bagi kelangsungan hidup perusahaan. Kegiatan perusahaan yang menghasilkan pendapatan pada umumnya adalah dalam bidang penjualan, baik dalam hal penjualan jasa maupun barang, sesuai dengan bidang perusahaannya masing-masing.
Upaya yang tepat agar seluruh kegiatan perusahaan dapat berjalan dengan baik adalah menyusun sistem perencanaan, koordinasi, dan pengendalian yang memadai bagi perusahaan tersebut. Dengan adanya sistem perencanaan, koordinasi, dan pengendalian, perusahaan diharapkan dapat menyusun perencanaan yang lebih baik, sehingga perusahaan dapat mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan serta dapat mengendalikan serta dapat mengendalikan pelaksanaan kegiatan dalam perusahaan tersebut. Untuk menjabarkan rencana tersebut diperlukan suatu alat manajemen yaitu anggaran.
Anggaran ini diperlukan untuk semua jenis usaha tanpa anggaran suatu perusahaan akan menghadapi kesulitan dalam menjalankan operasinya, Kesulitan ini antara lain dalam hal pengelolaan. Dalam perusahaan keberadaan anggaran sangat diperlukan sebab perusahaan bertujuan mencari laba yang optimum, sehingga perusahaan harus membuat perencanaan bertujuan mencari laba yang optimum, dan perusahaan harus membuat perencanaan dan penyusunan program secermat mungkin, apalagi jika perusahaan tersebut berada dalam persaingan yang ketat dengan perusahaan lain yang sejenis.
Penulis memilih anggaran penjualan sebagai alat pengendalian karena anggaran penjualan selain berguna sebagai dasar penyusunan semua anggaran yang ada dalam perusahaan, juga merupakan salah satu alat pengendalian terhadap kegiatan penjualan yang sedang berjalan. Bagi perusahaan yang menghadapi persaingan pasar, anggaran penjualan harus disusun paling awal dari semua anggaran yang lain, yang ada dalam perusahaan.
Berdasarkan alasan tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul sebagai berikut:
“Suatu tinjauan tentang penyusunan anggaran penjualan pada PT. Astra International,Tbk.-Daihatsu Cabang Bogor “

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut :
1) Bagaimana penyusunan anggaran penjualan pada PT. Astra International,Tbk.-Daihatsu Cabang Bogor ?

1.3 Tujuan Kerja Praktek
Tujuan Kerja Praktek ini adalah :
1. Untuk mengetahui penyusunan anggaran penjualan pada PT. Astra International, Tbk,-Daihatsu Cabang Bogor

1.4 Kegunaan Laporan Tugas Akhir

Secara garis besar kegunaan laporan tugas akhir yang dilakukan penulis diharapkan bermanfaat bagi :
1) Penulis :
Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran bagi penulis dibidang anggaran yaitu mengenai manfaat anggaran penjualan dan peranannya.
2) Perusahaan :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan untuk mengetahui manfaat anggaran penjualan dalam mengendalikan penjualan dan untuk menjamin kontuinitas perusahaan.
3) Universitas Widyatama :
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai anggaran, Khususnya tentang anggaran penjualan dan dapat berguna
untuk referensi.

1.5 Metodologi Tugas Akhir
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif , yaitu suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. ( Moh. Nazir 1999: 63)
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam menyusun Tugas akhir adalah:
1) Studi Lapangan
Studi lapangan merupakan peninjauan langsung Ke perusahaan guna memperoleh data – data mengenai perusahaan yang menjadi objek penelitian ada 2 cara untuk memperoleh data yaitu :
a) Observasi
Yaitu melakukan pengumpulan data secara langsung atas semua yang terjadi dalam perusahaan, disesuaikan dengan masalah yang dihadapi penulis.
b) Interview
Dalam hal ini penulis malakukan komunikasi langsung dengan pihak yang berkepentingan untuk mengamati masalah yang dihadapi penulis.
2) Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan dengan menggunakan buku- buku literatur yng berkaitan dengan pokok permasalahan dalam pengamatan ini. Dengan demikian penyusunan laporan tugas akhir ini lebih terarah karena menggunakan landasan teori yang kuat.

1.6 Lokasi dan Waktu Kerja Praktek
Penelitian Pada PT. Astra International Tbk.-Daihatsu yang bekedudukan di jalan pajajaran no 22 Bogor. Sedangkan waktu penelitian dilakukan mulai bulan februari 2004 sampai selesai.

LEVEL IMPLEMENTASI MARKET ORIENTATION DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERFORMA PADA UNIVERSITAS WIDYATAMA

Standar

BAB I
Pendahuluan

I.1. Latar Belakang Penelitian
Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kemampuan organisasi memahami dan memuaskan kebutuhan konsumen. Hal ini merupakan inti filosofi marketing concept (Ruekert, 1992; Webster, 1988). Ada dua hal yang tersirat dalam filosofi ini. Pertama, adanya keharusan bagi organisasi untuk mencari informasi mengenai apa yang dibutuhkan oleh konsumen, baik itu kebutuhan yang ekspresif maupun kebutuhan yang latent. Kedua, keharusan untuk melakukan inovasi sebagai konsekuensi usaha organisasi untuk memuaskan kebutuhan konsumen yang teridentifikasi. Drucker (1954) dengan tegas mengatakan bahwa fungsi perusahaan hanya dua, yaitu marketing dan inovasi. Dalam kondisi persaingan, alasan yang melatar belakangi eksistensi suatu organisasi ada dua, yaitu: menciptakan nilai (inovasi) dan memenangkan persaingan (Ma, 1999).
Penurunan jumlah calon mahasiswa baru yang secara nasional mencapai 40% hingga tahun 2005 (Sutoko, 2005) berakibat pada meningkatnya persaingan antar perguruan tinggi dalam menjaring mahasiswa baru. Bagi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta (PTS), yang sumber pendanaannya terutama berasal dari mahasiswa hal ini tentu dirasakan sangat memberatkan. Dengan demikian kemampuan PTS menjaring mahasiswa baru akan sangat menentukan kelangsungan PTS itu sendiri dimasa yang akan datang. Hal ini juga dirasakan oleh Universitas Widyatama (UTAMA) yang selama beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan jumlah peminat untuk mengikuti ujian saringan masuk. Penelitian niat siswa SMU di kota Bandung yang dilakukan oleh Zulganef & Lasmanah (2004) menemukan bahwa minat siswa SMU untuk memasuki UTAMA belum muncul.
Dampak jangka pendek dari kondisi ini terutama adalah meningkatnya tekanan pada arus dana, sedangkan dalam jangka panjang, dampak yang mungkin terjadi adalah penurunan kualitas. Jika disatu sisi jumlah peserta ujian saringan masuk menurun, dan disisi lain ada keinginan untuk mempertahankan arus dana dengan jalan mempertahankan jumlah mahasiswa yang diterima, maka konsekuensinya adalah passing grade calon mahasiswa baru yang diterima harus diturunkan. Mungkin ini pilihan pahit yang harus diambil, tetapi dalam jangka panjang, apakah pilihan ini bijaksana atau tidak, mungkin akan menimbulkan banyak perdebatan.
Seperti halnya organisasi lain yang berada dalam kondisi persaingan, keberadaan suatu lembaga PTS termasuk UTAMA adalah untuk menciptakan nilai dan memenangkan persaingan (Ma, 1999). Dalam konteks persaingan, lembaga PTS termasuk UTAMA harus mampu menciptakan dan mengeksploitasi advantages yang diharapkan mampu menjadi competitive advantage dalam menghadapi tekanan persaingan yang ada (Ma, 1999). Lebih jauh, lembaga PTS termasuk UTAMA tentunya berharap competitive advantages yang dimiliki dapat menjadi sustainable competitive advantage. Masalahnya adalah apakah UTAMA sebagai sebuah organisasi yang berada di tengah-tengah situasi persaingan memiliki advantages yang dapat dijadikan competitive adavantages yang diarahkan kepada sustainable competitive advantage? Hal ini mungkin sangat perlu untuk diuji.
Resource-based view (RBV) yang diperkenalkan oleh Wernerfelt pada tahun 1984, berargumen bahwa sumber daya organisasi yang unik akan mampu menghasilkan advantages (Wernerfelt, 1984). Dalam waktu lima belas tahun terakhir, RBV berkembang menjadi sebuah teori yang yang sangat berpengaruh pada bidang manajemen stratejik (Cohen, Wesley & Levinthal, 1990; Dixon, 1992; Henri, 2005), dan bidang pemasaran stratejik (Day, 1994; Matear, Morgan, 2004; Santos-Vijande, Sanzo-Perez; Alvarez-Gonzalez, and Vazquez-Casielles, 2005). RBV didasarkan pada prinsip bahwa kemampuan bersaing organisasi merupakan fungsi dari keunikan serta nilai dari resources serta kapabilitas yang dimiliki oleh organisasi tersebut (Henri, 2005). RBV menganggap bahwa kapabilitas merupakan sumber utama untuk mencapai sustainable competitive advantage (Henri, 2005). Kapabilitas terbukti merupakan sumber daya yang sangat sulit untuk digambarkan, bahkan sering disebut sebagai invisible assets, dan dengan demikian kapabilitas menjadi sulit untuk diduplikasi (Henri, 2005). Pada intinya, kapabilitas merupakan skills individu atau kelompok yang bersifat tacit, interaksi-interaksi dimana terjadi koordinasi antar resources, dan budaya organisasi (Barney, 1991; Day, 1994; Hult, Ketchen, and Nicholsl., 2002; Henri, 2005).
Market orientation merupakan salah satu budaya organisasi, yang terbukti jika terimplementasi dengan baik dalam organisasi, akan menjadi salah satu kapabilitas utama yang diperlukan untuk mencapai sustainable competitive advantage (Baker & Sinkula, 1999; Day, 1994; Henri, 2005; Hurley & Hult, 1998; Hurley, Hult & Knight, 2005; Kohli & Jaworski, 1990; Narver & Slater, 1990). Market orientation merupakan operasionalisasi dari marketing concept (Kohli & Jaworski, 1990; Narver & Slater, 1990) yang berfokus tiga hal, yaitu: pertama, usaha untuk memahami apa yang dibutuhkan oleh konsumen, baik kebutuhan ekspresif maupun yang laten; usaha untuk memahami pesaing, dan ketiga, usaha untuk menciptakan kordinasi antar fungsi dalam organisasi yang ditujukan untuk menghasilkan sinergi sumber daya organisasi (Narver & Slater, 1990; Narver, Slater, and MacLachlan, 2000). Implementasi market orientation yang baik akan memampukan organisasi memahami lingkungannya, dan dari pemahaman ini organisasi akan mampu berkreasi menghasilkan inovasi yang digunakan sebagai alat untuk menghantarkan values and benefits bagi konsumen.
Mengingat pentingnya marketing dan inovasi sebagai alat agar organisasi mampu beradaptasi dengan lingkungannya (Drucker, 1954), tentunya akan menjadi menarik dan sangat penting untuk memahami bagaimana level implementasi di UTAMA, dan bagaimana dampaknya terhadap performa UTAM.A. Penelitian ini mengukur level implementasi market orientation UTAMA, yang ditujukan untuk mencoba menjelaskan terjadinya gap berupa penurunan jumlah peserta ujian saringan masuk serta dampaknya terhadap performa UTAMA sebagai sebuah organisasi yang berada di tengah-tengah persaingan.

I.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah utama penelitian ini adalah: “Bagaimana hubungan level implementasi market orientation dengan performa UTAMA, dan apakah level implementasi tersebut dapat menjelaskan kemampuan UTAMA menjaring calon mahasiswa baru?”

I.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mengukur level implementasi market orientation, melihat hubungan learning orientation dengan performa, dan mencoba menjelaskan kemampuan UTAMA menjaring calon mahasiswa baru.

I.4. Kegunaan Hasil Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada:
1. teoritis, berupa pemahaman secara empiris yang lebih baik terhadap hubungan market orientation dan performa;
2. praktis, memahami market orientation sebagai salah satu budaya organisasi yang utama dalam memahami kebutuhan konsumen agar dapat memberikan values and benefits yang lebih baik disbanding pesaing melalui kreativitas organisasi dalam inovasi;
3. praktis, pemahaman serta guideline bagi para pengambil keputusan stratejik untuk mengembangkan kapabilitas yang diperlukan bagi pencapaian competitive advantage yang sustained.

I.5. Kerangka Pemikiran
Fahy (2000) mengatakan bahwa resources terdiri dari tiga kelompok, yaitu: tangible assets, intangible assets, dan capabilities. Literatur RBV menganggap bahwa kapabilitas merupakan sumber utama sustainable competitive advantage (Henri, 2005). Karena sifatnya yang sulit digambarkan atau dideskripsikan, maka kapabilitas akan menjadi sangat sulit untuk diduplikasi oleh pesaing. Kapabilitas ada di dalam organisasi, tetapi karena sifatnya yang tacit, maka manajemen harus mampu untuk mengidentifikasi, mengeksploitasi serta mengimplementasi-kan kapabilitas tersebut menjadi advantages. Kapabilitas menjembatani resources organisasi dan cara bagaimana mereka digunakan (Day, 1994). Kapabilitas merupakan proses organisasi dengan mana organisasi mensintesa dan mendapatkan knowledge resources, dan menghasilkan penggunaan-penggunaan baru dari resources organisasi yang ada (Liu, Luo, Xueming, Shi, Yi-Zheng, 2002). Proses-proses dalam organisasi yang menggunakan resources – khususnya proses-proses yang mengintegrasi, merekonfigurasi, mendapatkan dan menghasilkan resources – dimaksudkan untuk menyesuaikan organisasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di pasar, dan bahkan juga untuk menciptakan perubahan di pasar itu sendiri (Fahy, 2000).
Konsep market orientation merupakan elemen sentral dari filosofi manajemen (Ruekert, 1992; Webster, 1988) dan sangat berpengaruh pada performa jangka panjang. Mengingat pentingnya market orientation sebagai alat untuk mengukur implementasi marketing concept, Marketing Science Institute pada pertengahan tahun 1980an menyarankan perlunya dilakukan banyak penelitian untuk merumuskan konsep serta alat ukur market orientation yang lebih baik (Deshpande & Farley, 1998; 1999). Diawal tahun 1990an, dua artikel seminal muncul, yaitu: Kohli & Jaworski (1990) dan Narver & Slater (1990) yang mengemukakan konsep yang lebih operasional serta alat ukur market orientation.
Kohli & Jaworski (1990) mendefinisikan market orientation sebagai behavior yang terdiri dari:
1. intelligence generation,
2. intelligence dissemination,
3. responsiveness.

Kohli & Jaworski (1990) mengemukakan bahwa organisasi harus market-oriented. Untuk itu organisasi harus dapat mencari informasi tentang apa yang dibutuhkan oleh konsumen, baik yang ekspresif maupun yang laten. Tanggung jawab pencarian informasi ini bukan semata-mata tanggung jawab bagian marketing, melainkan tanggung jawab semua bagian dalam organisasi (Kohli & Jaworski, 1990; Narver & Slater, 1990). Informasi yang diperoleh mengenai kebutuhan konsumen harus didesiminasikan keseluruh bagian dari organisasi sehingga seluruh komponen organisasi memahami benar apa yang dibutuhkan oleh konsumen. Selanjutnya, secara terintegrasi dilakukan perancangan serta eksekusi rancangan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen (Kohli & Jaworski, 1990). Dengan demikian, esensi dari konsep market orientation yang dikemukakan oleh Kohli & Jaworski (1990) adalah bahwa organisasi harus mampu memahami konsumennya dan mampu melakukan inovasi untuk menghantarkan value and benefits kepada konsumen secara lebih baik dibanding pesaing.
Narver & Slater (1990) mendefinisikan market orientation sebagai budaya organisasi yang sangat efektif dan efisien dalam menciptakan perilaku-perilaku yang diperlukan dalam penciptaan nilai superior bagi konsumen, dan dengan demikian diharapkan dapat menghasilkan performa superior bagi organisasi, yang terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: customer orientation, competitor orientation, dan inter-functional coordination. Dalam definisi Narver & Slater (1990) ini tersirat inovasi yang berkelanjutan pada organisasi yang market-oriented.
Organisasi yang market-driven adalah organisasi yang menetapkan prioritas yang tinggi pada penciptaan value bagi konsumen yang ada maupun konsumen potensial (Day, 1994). Organisasi yang memiliki budaya market-oriented mengembangkan kapabilitas dalam market intelligence, dan strateji-stratejinya responsif pada informasi yang diperoleh dari konsumen dan stakeholder lain. Organisasi yang memiliki budaya market-oriented juga mampu mengembangkan kemampuan untuk melakukan koordinasi pada proses internalnya, dengan demikian organisasi akan mampu bereaksi dengan cepat dan efektif (Day, 1994; Narver & Slater, 1990).
Beberapa studi market orientation pada sektor jasa menemukan bahwa market orientation secara positif mempengaruhi performa organisasi. Konklusi yang paling penting adalah hasil yang menyatakan bahwa dengan menjadi organisasi yang market-oriented perusahaan jasa akan menghasilkan performa yang lebih baik (Naidu & Narayana, 1991; Caruana, Pitt, and Berthon, 1999; Wood, Bhuian, and Kiecker, 2000).
Organisasi yang budaya market orientation nya tinggi mendapatkan manfaat dalam organisasi baik secara internal maupun eksternal (Esteban, Millan, Molina, and Martin-Cosuegra, 2002). Market orientation sangat relevan dalam masa-masa sulit dimana persaingan sangat tinggi, atau saat dimana terjadi krisis ekonomi secara makro, yang mengakibatkan pasar mengecil, konsumen lebih berhati-hati, dan konsumen akan memilih produk dari organisasi yang mampu memberikan value and benefits yang lebih baik (Au & Tse, 1995). Hal ini tidak berarti bahwa dalam kondisi persaingan yang tidak tinggi organisasi tidak perlu memiliki budaya market orientation. Pada masa-masa honeymoon sekalipun, organisasi perlu mengembangkan budaya market orientation untuk dapat menjaga hubungan baik dengan konsumen sehingga pada masa sulit konsumen tetap loyal (Tse, Sin, Yim & Heung, 2005).

I.6. Desain Dan Metode Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk menjelaskan hubungan market orientation dengan performa yang didasarkan pada persepsi dosen dan karyawan, baik yang menduduki jabatan struktural maupun yang non-struktural di lingkungan UTAMA. Dengan demikian, penelitian ini bersifat explanatory dengan pendekatan satu kasus organisasi.
Data berupa persepsi dosen dan karyawan akan dijaring melalui kuesioner yang akan disebarkan kepada seluruh dosen dan karyawan di lingkungan UTAMA. Populasi penelitian ini dengan demikian adalah seluruh dosen tetap dan karyawan administrasi yang ada di lingkungan UTAMA. Unit analisis penelitian ini adalah individu. Seluruh anggota populasi akan diambil sebagai responden (survey), dan besarnya sample adalah sebesar jumlah kuesioner yang diisi, kembali, dan dapat diolah.
Kuesioner terdiri dari tiga bagian, bagian pertama berisi pertanyaan-pertanyaan yang merepresentasikan indikator dari tiga dimensi market orientation, bagian kedua berisi pertanyaan-pertanyaan yang merepresentasikan indikator dari dua dimensi performa, dan bagian ketiga berisi pertanyaan-pertanyaan untuk menjaring data demografi responden. Kuesioner dirancang dengan menggunakan Seven Point Likert Scale. Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan alat analisis, yang antara lain: validity and reliability test, uji asumsi klasik, dan OLS regression dengan menggunakan paket program SPSS 11.5.

TRANSFORMATIONAL LEADERSHIP DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOUR DI UTAMA

Standar

BAB I

Pendahuluan

I.1. Latar Belakang Penelitian

Perubahan lingkungan bisnis yang sangat cepat dan bersifat sangat tidak pasti mengharuskan organisasi-organisasi yang ada dalam suatu sektor industri untuk senantiasa berusaha meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kreatifitas (Bogler and Somech, 2005; Sweeland and Hoy, 2000). Peningkatan efektivitas, efisiensi, dan kreatifitas ini sangat bergantung pada kesediaan para karyawan untuk berkontribusi secara positif dalam menyikapi perubahan (Bogler and Somech, 2005). Perilaku untuk bersedia memberikan kontribusi positif pekerja ini diharapkan tidak hanya terbatas dalam kewajiban kerja secara formal, melainkan idealnya lebih dari kewajiban formalnya (Bowler, 2006). Dalam literature organisasi modern, perilaku dalam bentuk kerelaan untuk memberikan kontribusi yang lebih dari kewajiban formal bukanlah merupakan bentuk perilaku organisasi yang dapat dimunculkan melalui basis kewajiban-kewajiban peran formal karyawan (VanYperen, Berg, and Willering, 1999). Bateman and Organ (1983) menyebut perilaku ini sebagai organizational citizenship behaviors atau disingkat OCB.
Para pakar organisasi menyatakan pentingnya OCB bagi keberhasilan sebuah organisasi, karena pada dasarnya organisasi tidak dapat mengantisipasi seluruh perilaku dalam organisasi hanya dengan mengandalkan deskripsi kerja yang dinyatakan secara formal saja (George, 1996). Dengan demikian, pentingnya OCB secara praktis adalah pada kemampuannya untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kreatifitas organisasi melalui kontribusinya dalam transformasi sumber daya, inovasi, dan adaptabilitas (Organ, 1988; Podssakoff, MacKenzie; Paine, and Bacharach, 2000; Williams and Anderson, 1991).
Beberapa penelitian dalam bidang organisasi menemukan bahwa salah satu faktor terpenting dalam membentuk organizational citizenship behavior adalah kepemimpinan dalam organisasi (Netemeyer, Boles, McKee, and McMurrian, 1997; MacKenzie, Podssakoff, and Ahearne, 1998; Bettencourt, Meuler, and Gwinner, 2001; Pawar, 2003; Chen, 2004; MacKenzie, Podssakoff, and Rich, 2001; Benjamin and Flyinn, 2006). Leadership merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang atau kelompok orang kearah pencapaian suatu tujuan, dan dalam dunia yang sangat dinamis seperti saat ini, organisasi memerlukan pimpinan-pimpinan yang mampu menantang status quo, untuk menciptakan visi-visi masa depan dan menginspirasi para anggota organisasi untuk memiliki keinginan mencapai visi-visi tersebut (Robbins, 2001; Appelbaum et al., 2004). Mungkin tidak seorangpun dapat membantah pentingnya leadership bagi keberhasilan suatu organisasi. Kemampuan pimpinan organisasi merupakan faktor utama dalam membangun etos kerja dalam organisasi (Bass & Avolio, 1994). Motivasi kerja orang dalam organisasi sangat ditentukan oleh iklim dan lingkungan yang tercipta dalam organisasi itu sendiri. Iklim dan lingkungan dalam organisasi akan menentukan apakah seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan atau tidak (Bersona & Avolio, 2004). Jika iklim dan lingkungan organisasi dipersepsikan positif dan kepentingan serta minat orang dapat terakomodasi, orang mungkin akan bersedia secara sukarela melaksanakan pekerjaannya dalam organisasi melebihi apa yang diharapkan dapat dia laksanakan (Organ, 1988). OCB merupakan perilaku yang pekerja yang sangat positif, yang bersifat informal, yang dilakukan secara sadar untuk berkontribusi lebih terhadap organisasi (Bateman & Organ, 1983).
Penurunan jumlah calon mahasiswa baru yang secara nasional mencapai 40% hingga tahun 2005 (Sutoko, 2005) berakibat pada meningkatnya persaingan antar perguruan tinggi dalam menjaring mahasiswa baru. Bagi perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi swasta (PTS), yang sumber pendanaannya terutama berasal dari mahasiswa hal ini tentu dirasakan sangat memberatkan. Dengan demikian kemampuan PTS menjaring mahasiswa baru akan sangat menentukan kelangsungan PTS itu sendiri dimasa yang akan datang. Hal ini juga dirasakan oleh Universitas Widyatama (UTAMA) yang selama beberapa tahun terakhir ini mengalami penurunan jumlah peminat untuk mengikuti ujian saringan masuk. Penelitian niat siswa SMU di kota Bandung yang dilakukan oleh Zulganef & Lasmanah (2004) menemukan bahwa minat siswa SMU untuk memasuki UTAMA belum muncul.
Meningkatnya persaingan antar PTS untuk mendapatkan mahasisawa baru yang memenuhi kualifikasi minimum yang ditetapkan oleh masing-masing PTS tentunya menuntut UTAM untuk mampu merancang dan mengimplementasikan strateji-strateji baru yang adaftif dengan perubahan yang sedang tejadi. Strateji-strateji baru yang dirancang dan diimplementasikan ini pada dasarnya akan sangat tergantung pada sejauh mana strateji-strateji tersebut mampu mendiferensiasikan UTAMA dari pesaing-pesaing UTAMA. Kemampuan UTAMA dalam perancangan dan implementasi strateji-strateji adaptif ini sangat tergantung pada keterlibatan semua orang dalam organisasi UTAMA.
Hasil penelitian Brahmana & Sofyandi (2006) menemukan bahwa orientasi belajar di lingkungan dosen dan karyawan sangat lemah, dan temuan penelitian ini juga menemukan bahwa performa dosen dan karyawan juga kurang baik. Lemahnya orientasi untuk belajar akan dapat menghambat UTAMA berorientasi pada lingkungan yang selalu berubah. Salah satu faktor yang mempengaruhi orientasi belajar orang-orang dalam organisasi adalah kepemimpinan (Brahmana & Sofyandi, 2006).
Pemimpin dapat mempengaruhi perilaku para bawahan melalui gaya atau pendekatan yang digunakan untuk mengelola orang (Benyamin and Flyinn, 2006). Dalam masa dua dekade terakhir ini, ada dua gaya kepemimpinan yang menjadi perhatian utama para pakar organisasi, yaitu: transactional dan transformational leadership (Benjamin and Flyinn, 2006). Transactional leadership merupakan suatu dinamika pertukaran antara pimpinan dan bawahan, dalam mana pimpinan menetapkan sasaran-sasaran khusus, memonitor perkembangan, dan mengidentifikasi rewards yang dapat diharapkan oleh bawahan bilamana sasaran dapat dicapai (Bass, 1999; Burns, 1978). Transformational leadership menyangkut bagaimana mendorong orang lain untuk berkembang dan menghasilkan performa melebihi standar yang diharapkan (Bass, 1999). Pimpinan yang memiliki gaya transformasional mampu menginspirasi orang lain untuk melihat masa depan dengan optimis, memproyeksikan visi yang ideal, dan mampu mengkomunikasikan bahwa visi tersebut dapat dicapai (Benjamin and Flyinn, 2006). Menurut Benjamin & Flyinn (2006) dan Judge & Piccolo (2004) transformational leadership lebih efektif dibanding transactional leadership.
Para pakar transformational leadership (Bass, 1985; Bass & Avolio, 1994; Burns, 1978) berargumen bahwa kepemimpinan transformasional lebih proaktif dan lebih efektif dibanding kepemimpinan transaksional dalam hal memotivasi bawahan untuk mencapai performa yang lebih baik. Argumen ini banyak didukung oleh sejumlah temuan-temuan penelitian seperti Dumdum, Lowe & Avolio (2002), Lowe, Kroeck, & Sivasubramaniam (1996). Para pimpinan transformasional lebih mampu dan lebih sensitif merasakan lingkungannya, dan untuk selanjutnya membentuk dan mendiseminasi sasaran-sasaran stratejis yang mampu menangkap perhatian serta minat para bawahannya (Bersona & Avolio, 2004). Para pengikut pimpinan transformasional memperlihatkan tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap misi organisasi, kesediaan untuk bekerja lebih keras, kepercayaan yang lebih tinggi terhadap pimpinan, dan tingkat kohesi yang lebih tinggi (Avolio, 1999). Seluruh efek kepemimpinan transformasional diharapkan akan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pemahaman serta diseminasi visi stratejis, misi, dan sasaran-sasaran, serta tingkat penerimaan bawahan yang lebih baik (Bersona & Avolio, 2004).
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat persepsi dosen dan karyawan administrasi di lingkungan UTAMA atas gaya kepemimpinan dan organizational citizenship behavior dosen dan karyawan administrasi UTAMA, yang ditujukan untuk mencoba menjelaskan variasi performa dosen dan karyawan administrasi dilihat dari organizational citizenship behavior, dengan transformational leadership sebagai prediktor.

I.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian di atas, masalah utama penelitian ini adalah mengenai persepsi dosen dan karyawan administrasi UTAMA atas leadership dan organizational citizenship behavior di UTAMA, dan hubungan antar keduanya. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah gaya kepemimpinan di UTAMA cenderung transformasional atau transaksional.
b. Bagaimana organizational citizenship behaviour dosen dan karyawan administrasi UTAMA.
c. Bagaimana hubungan antara transformational leadership di UTAMA dengan organizational citizenship behaviour dosen dan karyawan administrasi.

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengukur kecenderungan transformational leadership dan ada tidaknya organizational citizenship behavior di UTAMA, dan melihat hubungan keduanya untuk melihat apakah hal tersebut dapat menjelaskan kondisi UTAMA saat ini.

I.4. Kegunaan Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada:
1. teoritis, berupa peningkatan pemahaman empiris atas transformational leadership dan organizational citizenship behavior;
2. praktis, memahami transformational leadership dan organizational citizenship behavior sebagai faktor yang dapat menentukan kretaifitas, kinerja individu yang pada akhirnya akan sangat menentukan kinerja organisasi secara keseluruhan.
3. praktis, pemahaman serta guideline bagi para pengambil keputusan stratejik dalam usaha perancangan dan implementasi strateji-strateji yang ditujukan bagi peningkatan kinerja orang-orang dalam organisasi.

I.5. Rerangka Pemikiran

Peningkatan efektivitas, efisiensi, dan kreatifitas dalam suatu organisasi sangat bergantung pada kesediaan orang-orang dalam organisasi untuk berkontribusi secara positif dalam menyikapi perubahan (Bogler and Somech, 2005). Perilaku untuk bersedia memberikan kontribusi positif ini diharapkan tidak hanya terbatas dalam kewajiban kerja secara formal, melainkan idealnya lebih dari kewajiban formalnya (Bowler, 2006). Dalam literature organisasi modern, perilaku dalam bentuk kerelaan untuk memberikan kontribusi yang lebih dari kewajiban formal bukanlah merupakan bentuk perilaku organisasi yang dapat dimunculkan melalui basis kewajiban-kewajiban peran formal karyawan (VanYperen, Berg, and Willering, 1999). Bateman and Organ (1983) menyebut perilaku ini sebagai organizational citizenship behaviors atau disingkat OCB.
Para pakar organisasi menyatakan pentingnya OCB bagi keberhasilan sebuah organisasi, karena pada dasarnya organisasi tidak dapat mengantisipasi seluruh perilaku dalam organisasi hanya dengan mengandalkan deskripsi kerja yang dinyatakan secara formal saja (George, 1996). Dengan demikian, pentingnya OCB secara praktis adalah pada kemampuannya untuk memperbaiki efisiensi, efektivitas, dan kreatifitas organisasi melalui kontribusinya dalam transformasi sumber daya, inovasi, dan adaptabilitas (Organ, 1988; Podssakoff, MacKenzie; Paine, and Bacharach, 2000; Williams and Anderson, 1991).
OCB telah menarik cukup banyak perhatian dalam studi-studi bisnis dan organisasi untuk beberapa alasan (Tepper and Taylor, 2003; Turnipseed and Murkison, 2000). OCB mampu meningkatkan keberhasilan organisasi melalui kemampuan organisasi mengalokasikan sumber dayanya secara lebih efektif (Organ, 1988; VanYperen et al., 1999). OCB melengkapi organisasi dengan tambahan kemampuan dan mengurangi mekanisme formal yang mahal dalam proses restrukturisasi organisasi (George, 1996; Organ and Konovsky, 1989).
Katz (1964) mengidentifikasi tiga tipe perilaku pekerja yang sangat penting bagi efektivitas total dari suatu sistem organisasi, yaitu:
1. orang dibujuk untuk masuk dan tetap berada dalam system;
2. orang harus mau melakukan peran tanggung jawabnya dengan baik;
3. harus ada aktivitas inovatif dan spontan dalam usaha mencapai tujuan organisasi di luar batas-batas spesifikasi peran formal.

Ketiga hal tersebut sangat penting, tetapi yang terpenting adalah perilaku yang ketiga (Bolon, 1997). Sayangnya, masih belum cukup banyak usaha yang dilakukan organisasi untuk menggali perilaku tersebut. Bolon (1997) mengatakan bahwa perilaku ini sangat vital bagi keberlangsungan dan efektivitas organisasi. Organisasi yang hanya mengandalkan dua perilaku pertama akan menjadi organisasi yang memiliki sistem sosial yang sangat rentan. Beberapa contoh pentingnya OCB dalam suatu organisasi menurut Bolon (1997) antara lain adalah:
1. munculnya tindakan-tindakan yang ditujukan untuk melindungi organisasi beserta asetnya;
2. munculnya saran-saran konstruktif yang ditujukan untuk perbaikan organisasi;
3. munculnya kesediaan untuk melakukan pelatihan-pelatihan pribadi yang bersifat informal yang akan meningkatkan tambahan tanggung jawab;
4. terciptanya iklim yang baik dalam organisasi dan dengan lingkungan sekitar organisasi;
5. munculnya aktivitas-aktivitas gotong-royong.

Para pakar telah meneliti OCB dengan asumsi bahwa OCB akan meningkatkan pencapaian tujuan-tujuan serta efektivitas organisasi (Bowler, 2006).
Para pakar organisasi serta para praktisi sangat memahami pentingnya faktor-faktor penentu yang dapat memunculkan OCB dalam organisasi. Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan bahwa salah satu anteseden penting bagi terciptanya OCB adalah transformational leadership (Netemeyer, Boles, McKee, and McMurrian, 1997; MacKenzie, Podssakoff, and Ahearne, 1998; Bettencourt, Meuler, and Gwinner, 2001; Pawar, 2003; Chen, 2004; MacKenzie, Podssakoff, and Rich, 2001; Benjamin and Flyinn, 2006).
Leadership merupakan kemampuan untuk mempengaruhi orang atau kelompok orang kearah pencapaian suatu tujuan, dan dalam dunia yang sangat dinamis seperti saat ini, organisasi memerlukan pimpinan-pimpinan yang mampu menantang status quo, untuk menciptakan visi-visi masa depan dan menginspirasi para anggota organisasi untuk memiliki keinginan mencapai visi-visi tersebut (Robbins, 2001; Appelbaum et al., 2004). Mungkin tidak seorangpun dapat membantah pentingnya leadership bagi keberhasilan suatu organisasi.
Pemimpin dapat mempengaruhi perilaku para bawahan melalui gaya atau pendekatan yang digunakan untuk mengelola orang (Benyamin and Flyinn, 2006). Dalam masa dua dekade terakhir ini, ada dua gaya kepemimpinan yang menjadi perhatian utama para pakar organisasi, yaitu: transactional dan transformational leadership (Benjamin and Flyinn, 2006). Transactional leadership merupakan suatu dinamika pertukaran antara pimpinan dan bawahan, dalam mana pimpinan menetapkan sasaran-sasaran khusus, memonitor perkembangan, dan mengidentifikasi rewards yang dapat diharapkan oleh bawahan bilamana sasaran dapat dicapai (Bass, 1999; Burns, 1978). Transformational leadership menyangkut bagaimana mendorong orang lain untuk berkembang dan menghasilkan performa melebihi standar yang diharapkan (Bass, 1999). Pimpinan yang memiliki gaya transformasional mampu menginspirasi orang lain untuk melihat masa depan dengan optimis, memproyeksikan visi yang ideal, dan mampu mengkomunikasikan bahwa visi tersebut dapat dicapai (Benjamin and Flyinn, 2006). Menurut Benjamin & Flyinn (2006) dan Judge & Piccolo (2004) transformational leadership lebih efektif dibanding transactional leadership.
Dari uraian di atas, maka hipotesis utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Transformational Leadership memiliki hubungan yang positif dengan OCB dosen dan karyawan administrasi UTAMA.

I.6. Desain Dan Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian explanatory yang dilakukan dengan pendekatan kasus, yang ditujukan untuk menjelaskan hubungan transformational leadership dengan organizational citizenship behavior yang didasarkan pada persepsi dosen dan karyawan adaministrasi di lingkungan Universitas Widyatama. Adapun data yang diperlukan untuk menjelaskan hubungan yang dimaksud akan diperoleh melalui penyebaran kuesioner.
Populasi penelitian ini adalah seluruh dosen tetap serta seluruh karyawan administrasi yang ada dilingkungan Universitas Widyatama. Unit analisis penelitian ini adalah individu. Seluruh anggota populasi akan diambil sebagai responden (sensus), dan besarnya sample adalah sebesar jumlah kuesioner yang diisi, kembali, dan layak untuk diolah.
Kuesioner sebagai alat untuk menjaring data terdiri dari serangkaian pertanyaan yang merepresentasikan indikator-indikator dari tiap dimensi variabel. Kuesioner dirancang dengan menggunakan Seven Point Likert Scale. Data yang diperoleh akan diolah dengan menggunakan alat analisis antara lain: validity and reliability test, factor analysis, uji asumsi klasik, dan OLS regression.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN DESA

Standar

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Strategi pembangunan Indonesia adalah peningkatan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya melalui arah kebijakan pembangunan sektoral dan pemberdayaan masyarakat (people empowering) terutama dipedesaan. Pembangunan desa bersifat multisektoral dalam arti pertama sebagai metode pembangunan masyarakat sebagai subyek pembangunan; kedua sebagai program dan ketiga sebagai gerakan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan dilandasi oleh kesadaran untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik (Setyono, 2002:34). Berdasarkan catatan statistik diketahui bahwa hampir 80% penduduk di Indonesia bertempat tinggal dipedesaan. Dengan jumlah penduduk yang besar dan komponen alam yang potensial akan mendapakan asset pembangunan, apabila dikembangkan dan diaktifkan secara intensif dan efektif untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.
Dalam Tap MPR No. IV Tahun 1999 tentang GBHN 1999-2004 mengamanatkan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana. pembangunan system agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumberdaya alam adalah untuk mempercepat pembangunan pedesaan. Untuk visi, misi, wawasan pembangunan, arah dan pendalaman pembangunan menurut GBHN 1999-2004 yang dimanteli dengan pembangunan daerah, maka dikembangkan salah satu program pembangunan pedesaan yang berakar dari masyarakat yaitu Dana Pembangunan Desa / Kelurahan (DPD/K)
Kebijakan dana pembangunan desa secara bottom up yang pada hakekatnya menjadi tidak lain dari suatu upaya politik developmentalism di desa, yang penyelenggaraannya ditekankan pada dua aspek yaitu pertama, menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya; kedua, mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang/peluang yang tercipta (A.Gany, 2001:5). Namun terjadi democracy crisis, suatu kondisi dimana proses pengambilan keputusan (kebijakan) yang menyangkut hajat hidup masyarakat, berjalan tanpa keterlibatan substansial (Moko,2001:3). Pembatasan akses rakyat desa dalam arena pengambilan kebijakan (political decision), para pengambil kebijakan menempatkan diri layaknya pihak yang memiliki otonomi untuk mengambil keputusan, meskipun tanpa partisipasi politik dan persetujuan dari rakyat desa (Juliantara, 2003:13). Kebijakan didesa lebih merupakan konvensi yang secara inkremental dibangun atau berupa cetusan-cetusan pemikiran aparat yang secara spontan dan sedikit impulsif diterapkan sebagai arah gerak laju desa (Gaffar, 2002:2).
Mobilisasi partisipasi politik masyarakat melemah, yang ada hanya partisipasi pelaksanakan kegiatan gotong-royong, finansial masyarakat untuk kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintah desa. Partisipasi politik yang pluralistik dibatasi, partisipasi politik rakyat lebih diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh para elit penguasa (Mas’oed, 1997:16). Pelaksanaan program pembangunan desa oleh pemerintah telah membuat desa dan penduduknya menjadi semakin tidak berdaya secara politik. Proses pembangunan desa yang berjalan tidak menjadikan desa berubah, berkembang menjadi lebih baik dan lebih bermakna, namun sebaliknya. Ini menjadikan desa baik dari sosial, ekonomi maupun politik justru tetap berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Pembangunan yang dimaksudkan untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan, namun program pembangunan pedesaan yang ditentukan tidak menciptakan harapan atau kemungkinan pilihan masyarakat (public choice) desa.
Pembatasan partisipasi politik masyarakat dalam penerapan kebijakan pembangunan desa (Bangdes) berkaitan dengan masyarakat desa berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 1981 mengenai sistem perencanaan pembangunan desa yang dalam pelaksanaannya cenderung bersifat top down, yang tidak menciptakan pilihan dan harapan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan menyangkut kepentingan masyarakat sangat minimal. Terjadi penyimpangan dari Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Desa bahwa kebijakan pembangunan desa (Bangdes) digunakan untuk program yang diprioritaskan masyarakat desa.
Kartasasmita(1997), menyebutkan bahwa studi empiris banyak menunjukkan kegagalan pembangunan atau pembangunan tidak memenuhi sasaran karena kurangnya partisipasi (politik) masyarakat, bahkan banyak kasus menunjukkan rakyat menetang upaya pembangunan. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa hal: 1).Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat banyak bahkan pada sisi estrem dirasakan merugikan. 2).Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud tersebut. 3).Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman tersebut. 4).Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi rakyat tidak diikutsertakan
Sehingga pergeseran kebijakan program dana pembangunan desa yang komprehensif perlu keterlibatan politik masyarakat secara efektif dan dukungan berbagai sektor terpadu termasuk dukungan infrastruktur ekonomi yang tangguh memihak kepada kepentingan masyarakat sangat diperlukan guna mengakhiri pembatasan akses rakyat dalam proses pembangunan desa. Kebijakan program dana pembangunan desa, menitikberatkan pada aspek partisipasi politik masyarakat, respon terhadap program pembangunan dan aspek keberlanjutan program bagi masyarakat desa ditengah keberagaman kemampuan dan kepentingan masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sangat terbatas akan mewujudkan pengembangan program pembangunan yang tidak melahirkan kelompok terpinggirkan baru (Mujani, 2002:125). Partisipasi politik masyarakat desa akan menghindari kebijakan program dana pembangunan desa yang sentralistik, dan ditujukan bentuk kepentingan politik masyarakat (A.Gany, 2001:5). Dengan mengacu pada upaya (political empowernment) masyarakat desa yang berprinsip pada lokalitas (Friedman, 1992:168) dan melepaskan diri dari paradiqma yang bersifat dependency creating (Tjokrowinoto, 1996:41), maka dalam upaya menyukseskan pelaksanaan pembangunan diperlukan adanya partisipasi politik aktif dari masyarakat.
Dalam era reformasi pada aras lokal dan sebagai upaya dalam rangka mengoptimalkan partisipasi politik masyarakat desa, inisiatif, inovatif, dan kreatif untuk mendorong kemajuan otonomi asli desa dan menegakkan demokrasi lokal yang selama ini “terpendam” dan telah dimiliki masyarakat, serta upaya pemberdayaan masyarakat desa mencakup community development dan community-based development. (Setyono, 2002:4). Selain itu dalam rangka pelaksanaan pembangunan desa diharapkan partisipasi politik aktif masyarakat untuk mengidentifikasi berbagai masalah pembangunan desa yang dihadapi dengan alternatif pemecahannya yang secara utuh dilaksanakan oleh masyarakat.
Oleh karena itu, pentingnya melihat pengaruh antara faktor sosial-ekonomi, politik, fisik dan budaya terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa.
Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari pemaparan dan kenyatan diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1 Seberapa besar faktor sosial-ekonomi, faktor politik, faktor fisik dan faktor nilai budaya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa secara simultan maupun parsial ?
2 Faktormanakah yang dominan berpengaruh terhadap partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa?

Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini meliputi:
1 Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh beberapa faktor terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa baik secara parsial maupun simultan.
2 Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa.

TINJAUAN PUSTAKA
Politik Pembangunan Desa
Mas’oed (!997:15) politik pembangunan desa lebih tertuju pada aspek politik dan kebijakan pemerintah terhadap pembangunan ditingkat desa. Program pembangunan desa untuk membuat rakyat semakin banyak punya pilihan tentang masa depan yang diinginkan. Proses pembangunan desa menghasilkan tata kehidupan politik yang menumbuhkan demokrasi. Sehingga keputusan politik terhadap program pembangunan pedesaan bertujuan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat, untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan kesejahteraan masyarakat desa
Berbagai program pembangunan desa dalam perencanaan partisipatif yang diterapkan oleh pemerintah yang secara umum untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat desa, tertuang dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Direktur Jenderal Pembangunan Desa) Nomor 414. 24/185/set 10 Juni 1996, bahwa dalam rangka penerapan metode P3MD terdapat 12 program/kegiatan umum yang erat kaitannya dengan arah pembangunan desa. Program tersebut ditujukan untuk: 1).Meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam pengambilan keputusan termasuk kelompok miskin dan perempuan; 2).Meningkatkan kualitas hidup masyarakat dibidang pendidikan dan kesehatan; 3).Meningkatkan penyediaan prasarana sosial ekonomi masyarakat pedesaan; 4).Memperluas kesempatan berusaha dan mengembangkan usaha bagi masyarakat; 5). Mengembangkan kapasitas masyarakat dalam merencanakan, menyelenggarakan, dan melestarikan pembangunan serta mengakses sumber daya yang tersedia; 6). Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap program permbangunan dipedesaan. 7).Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan pembangunan didesa.
Berkaitan dengan entitas ekonomi dalam politik pembangunan yaitu tidak mengejar keuntungan pribadi atau kelompok untuk jangka pendek, tetapi menanamkan hakekat pembangunan desa yang transparan, bertanggung jawab, menguntungkan semua pihak dan berlangsung secara menyeluruh serta berkesinambungan.(Nugroho, 2000:138). Weaver (2002:7), politik pembangunan menyangkut keberhasilan pembangunan desa bisa dicapai, bila usaha-usaha pembangunan langsung ditujukan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan masyarakat memiliki akses pada sumber-sumber ekonomi dan politik, serta sebagai usaha memberdayakan masyarakat secara langsung.
Pemberdayaan Politik Masyarakat Desa
Memberdayakan politik masyarakat melalui pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan, Pembangunan desa tidak menempatkan rakyat desa sebagaai obyek, melainkan menempatkan rakyat desa pada posisi yang tepat sebagai subyek dalam proses pembangunan desa (Soemodiningrat, 1996:162). Pemberdayaan politik masyarakat harus dilakukan melalui 3 tahapan: a.)Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, b). Memperkuat potensi, daya, sumberdaya, atau energi yang terdapat pada politik rakyat dan dimiliki masyarakat (empowering) dengan menyediakan input serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya memanfaatkan peluang, c). Melindungi masyarakat dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.
Pemberdayaan politik masyarakat bertujuan untuk melayani masyarakat (a spirit of public service) dan menjadi mitra kerjasama dengan masyarakt (co-production) mengutamakaan keberhasilan pembangunan desa.(Usman,2003:20). Juga untuk menuju political maturity dalam pembangunan desa berkaitan dengan sumberdaya dan institutional performance sebagai usaha untuk mempertinggi akses masyarakat desa yang berpaut dengan kebijakan masyarakat terhadap prioritas program pembangunan dan mekanisme pengelolaannya. Pemberdayaan politik masyarakat merupakan proses pembaruan desa yang dimaksudkan untuk mengembalikan masyarakat kedalam pusaran utama proses kehidupan berbangsa dan bernegara, dan menumbuhkan partisipasi politik masyarakat, dalam pencapaian hasil-hasil pembangunan desa.
Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pembangunan Desa
Partisipasi politik masyarakat dalam rencana pembangunan harus sudah dimulai sejak saat perencanaan kemudian pelaksanaan dan seterusnya pemeliharaan. Surbakti (1992:16), Kegiatan masyarakat yang disebut partisipasi politik adalah perilaku politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan politik, perilaku politik masyarakat (individu/kelompok) yang berhak mempengaruhi lembaga dan pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan politik, karena menyangkut kehidupan masyarakat. Dalam perspektif politik, Huntington (1993:270), partisipasi politik masyarakat merupakan ciri khas modernisasi politik dalam pembangunan, kemajuan demokrasi dapat dilihat dari seberapa besar partisipasi politik masyarakat. (Tjokroamidjojo, 1991:113), pertama, partisipasi politik aktif masyarakat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan; kedua, keterlibatan dalam memikul hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan.
Alexander Abe (2001:110), Partisipasi politik masyarakat merupakan hal terpenting dalam pembangunan desa, yaitu akan menjadi wahana political education yang sangat baik. Sedangkan menurut Conyers(1994:154), “Pertama, partisipasi politik masyarakat sebagai alat guna memperoleh suatu informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat yang tanpa kehadirannya program pembangunan desa serta proyek akan gagal; kedua, masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan didesa, jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya dan pengambilan keputusan terhadap priritas pembangunan yang sesuai kebutuhan masyarakat, karena akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek; dan ketiga, yang mendorong partisipasi umum dibanyak negara karena timbul anggapan bahwa hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat.” Katz (165:100), partisipasi politik masyarakat diwujudkan melalui partisipasi politik dalam proses pembuatan keputusan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasi.
Partisipasi politik dapat dianggap sebagai tolak ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek pembangunan desa. Jika masyarakat desa, tidak berkesempatan untuk berpartisipasi politik dalam pembangunan suatu proyek didesanya. Proyek tersebut pada hakekatnya bukanlah proyek pembangunan desa (Ndraha, 1990:103). Partisipasi politik masyarakat dalam pembangunan desa bertujuan untuk menjamin agar pemerintah selalu tanggap terhadap masyarakat atau perilaku demokratisnya. Dan itu juga berarti bahwa metode yang digunakan dalam pembangunan desa harus sesuai dengan kondisi fisiologis sosial dan ekonomi serta lingkungan kebudayaan didesa. (Bharracharyya,J, 1972:20)
Dusseldorp (1994:10), salah satu cara untuk mengetahui kualitas partisipasi politik masyarakat dapat dilihat dari bentuk-bentuk keterlibatan seseorang dalam berbagai tahap proses pembangunan yang terencana mulai dari perumusan tujuan sampai dengan penilaian. Bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai usaha terorganisir oleh warga masyarakat untuk mempengaruhi bentuk dan jalannya public policy. Sehingga kualitas dari hierarki partisipasi politik masyarakat dilihat dalam keaktifan atau kepasifan (apatis) dari bentuk partisipasi politik masyarakat.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat
1 Faktor Sosial Ekonomi Kondisi sosial ekonomi meliputi tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah keluarga.
2. Faktor Politik Arnstein S.R (1969) peran serta politik masyarakat didasarkan kepada politik untuk menentukan suatu produk akhir. Faktor politik meliputi :
a. Komunikasi Politik. Komunikasi politik adalah suatu komunikasi yang mempunyai konsekuensi politik baik secara aktual maupun potensial, yang mengatur kelakuan manusia dalam keberadaan suatu konflik. (Nimmo, 1993:8). Komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat sebagai interaksi antara dua pihak yang menerapkan etika (Surbakti, 1992:119).
b. Kesadaran Politik. Kesadaran politik menyangkut pengetahuan, minat dan perhatian seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik (Eko, 2000:14). Tingkat kesadaran politik diartikan sebagai tanda bahwa warga masyarakat menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan dan atau pembangunan (Budiarjo, 1985:22).
c. PengetahuanMasyarakat terhadap Proses Pengambilan Keputusan. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan akan

menentukan corak dan arah suatu keputusan yang akan diambil (Ramlan Surbakti 1992:196).
d. Kontrol Masyarakat terhadap Kebijakan Publik. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk mengelola suatu obyek kebijakan tertentu (Arnstein, 1969:215). Kontrol untuk mencegah dan mengeliminir penyalahgunaan kewenangan dalam keputusan politik (Setiono,2002:65). Arnstein1969:215), kontrol masyarakat dalam kebijakan publik adalah the power of directing. Juga mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau masukan (ide, gagasan) tanpa intimidasi yang merupakan problem dan harapan rakyat (Widodo, 2000:192), untuk meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan analisis dan pemetaan terhadap persoalan aktual dan merumuskan agenda tuntutan mengenai pembangunan (Cristina, 2001:71).
1 Faktor Fisik Individu dan Lingkungan Faktor fisik individu sebagai sumber kehidupan termasuk fasilitas serta ketersediaan pelayanan umum. Faktor lingkungan adalah kesatuan ruang dan semua benda, daya, keadaan, kondisi dan makhluk hidup, yang berlangsungnya berbagai kegiatan interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta lembaga dan pranatanya (K. Manullang dan Gitting, 1993:13).
2 Faktor Nilai Budaya Gabriel Almond dan Sidney Verba (1999:25), Nilai budaya politik atau civic culture merupakan basis yang membentuk demokrasi, hakekatnya adalah politik baik etika politik maupun teknik (Soemitro 1999:27) atau peradapan masyarakat (Verba, Sholozman, Bradi, 1995). Faktor nilai budaya menyangkut persepsi, pengetahuan, sikap, dan kepercayaan politik.

Kebijakan, Implementasi dan Evaluasi Dampaknya
Kebijakan adalah bagian dari keputusan politik yakni program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat-pemerintah dan penyelenggara kebijakan Sehingga kebijakan merupakan hasil kegiatan politik. (Soenarko, 2000:4).
Kebijakan merupakan usaha didalam maupun melalui pemerintahan untuk memecahkan masalah publik. Karenanya dalam Islamy (1992:17), menyebutkan tiga elemen kebijakan yaitu a)identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai; b)Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; c) penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Warsito (2000:43), kebijakan pembangunan desa merupakan konsolidasi tingkat bawah oleh kelompok penguasa. Pye.W (1996:47), kebijakan pembangunan adalah proses penguatan nilai-nilai dan praktek demokrasi, yakni berlandaskan pada demokrasi dalam pengertian penerapan prinsip-prinsip fredoom, equality masyarakat dalam peran sertanya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kebijakan pembangunan menjadi landasan dan arah bagi penyusunan konsep strategi pelaksanaan pembangunan dan merupakan manifestasi, dimana tujuan pembangunan yang dicapai melalui rumusan-rumusan pokok yang menjamin tercapainya tujuan pembangunan.
Nugroho (2003:155), Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Implementasi bersifat interaktif dengan kegiatan kebijakan yang mendahuluinya. Jones (1970), model implementasi kebijakan yang dapat dikembangkan sebagai pilihan yang efektif adalah implementasi kebijakan publik yang partisipatif .
Dalam evaluasi kebijakan yang mencakup timming evaluasi, William Dunn (1999:121) disebut sebagai evaluasi summatif, evaluasi proses pelaksanaan dan evaluasi konsekuensi (output) kebijakan dan / evaluasi dampak kebijakan, yang ditimbulkan baik positif maupun negatif dan mengacu pada perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh suatu implementasi kebijakan (Nugroho, 2003:95).

ETIKA PEMERINTAHAN

Standar

Good governance merupakan tuntutan yang terus menerus diajukan oleh publik dalam perjalanan roda pemerintahan. Tuntutan tersebut merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon positif oleh aparatur penyelenggaraan pemerintahan. Good governance mengandung dua arti yaitu :

  1. Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang hidup dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang berhubungan dengan nilai-nilai kepemimpinan. Good governance mengarah kepada asas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  2. Pencapaian visi dan misi secara efektif dan efisien. Mengacu kepada struktur dan kapabilitas pemerintahan serta mekanisme sistem kestabilitas politik dan administrasi negara yang bersangkutan.

Untuk penyelenggaraan Good governance tersebut maka diperlukan etika pemerintahan. Etika merupakan suatu ajaran yang berasal dari filsafat mencakup tiga hal yaitu :

  1. Logika, mengenai tentang benar dan salah.
  2. Etika, mengenai tentang prilaku baik dan buruk.
  3. Estetika, mengenai tentang keindahan dan kejelekan.

Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata “Virtus” yang berarti keutamaan dan baik sekali, serta bahasa Yunani yaitu kata “Arete” yang berarti utama. Dengan demikian etika merupakan ajaran-ajaran tentang cara berprilaku yang baik dan yang benar. Prilaku yang baik mengandung nilai-nilai keutamaan, nilai-nilai keutamaan yang berhubungan erat dengan hakekat dan kodrat manusia yang luhur. Oleh karena itu kehidupan politik pada jaman Yunani kuno dan Romawi kuno, bertujuan untuk mendorong, meningkatkan dan mengembangkan manifestasi-manifestasi unsur moralitas. Kebaikan hidup manusia yang mengandung empat unsur yang disebut juga empat keutamaan yang pokok (the four cardinal virtues) yaitu :

  1. Kebijaksanaan, pertimbangan yang baik (prudence).
  2. Keadilan (justice).
  3. Kekuatan moral, berani karena benar, sadar dan tahan menghadapi godaan (fortitude).
  4. Kesederhanaan dan pengendalian diri dalam pikiran, hati nurani dan perbuatan harus sejalan atau “catur murti” (temperance).

Pada jaman Romawi kuno ada penambahan satu unsur lagi yaitu “Honestum” yang artinya adalah kewajiban bermasyarakatan, kewajiban rakyat kepada negaranya. Dalam perkembangannya pada masa abad pertengahan, keutamaan tersebut bertambah lagi yang berpengaruh dari Kitab Injil yaitu Kepercayaan (faith), harapan (hope) dan cinta kasih (affection). Pada masa abad pencerahan (renaissance) bertambah lagi nilai-nilai keutamaan tersebut yaitu Kemerdekaan (freedom), perkembangan pribadi (personal development), dan kebahagiaan (happiness).

Pada abad ke 16 dan 17 untuk mencapai perkembangan pribadi (personal development) dan kebahagiaan (happiness) tersebut dianjurkan mengembangkan kekuataan jiwa (animositas), kemurahan hati (generositas), dan keutamaan jiwa (sublimitas).

Dengan demikian etika pemerintahan tidak terlepas dari filsafat pemerintahan. filsafat pemerintahan adalah prinsip pedoman dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan pada pembukaan UUD negara.

kalau melihat sistematika filsafat yang terdiri dari filsafat teoritis, “mempertanyakan yang ada”, sedangkan filsafat praktis, “mempertanyakan bagaimana sikap dan prilaku manusia terhadap yang ada”. Dan filsafat etika. Oleh karena itu filsafat pemerintahan termasuk dalam kategori cabang filsafat praktis. Filsafat pemerintahan berupaya untuk melakukan suatu pemikiran mengenai kebenaran yang dilakukan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengacu kepada kaedah-kaedah atau nilai-nilai baik formal maupun etis.

Dalam ilmu kaedah hukum (normwissenchaft atau sollenwissenschaft) menurut Hans Kelsen yaitu menelaah hukum sebagai kaedah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum meliputi Kenyataan idiil (rechts ordeel) dan Kenyataan Riil (rechts werkelijkheid). Kaedah merupakan patokan atau pedoman atau batasan prilaku yang “seharusnya”. Proses terjadinya kaedah meliputi : Tiruan (imitasi) dan Pendidikan (edukasi). Adapun macam-macam kaedah mencakup, Pertama : Kaedah pribadi, mengatur kehidupan pribadi seseorang, antara lain :

  1. Kaedah Kepercayaan, tujuannya adalah untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau hidup beriman. meliputi : kaedah fundamentil (abstrak), contoh : manusia harus yakin dan mengabdi kepada Tuhan YME. Dan kaedah aktuil (kongkrit), contoh : sebagai umat islam, seorang muslim/muslimah harus sholat lima waktu.
  2. Kaedah Kesusilaan, tujuannya adalah untuk kebaikan hidup pribadi, kebaikan hati nurani atau akhlak. Contoh : kaedah fundamentil, setiap orang harus mempunyai hati nurani yang bersih. Sedangkan kaedah aktuilnya, tidak boleh curiga, iri atau dengki.

Kedua: Kaedah antar pribadi mencakup :

  1. Kaedah Kesopanan, tujuannya untuk kesedapan hidup antar pribadi, contoh : kaedah fundamentilnya, setiap orang harus memelihara kesedapan hidup bersama, sedangkan kaedah aktuilnya, yang muda harus hormat kepada yang tua.
  2. Kaedah Hukum, tujuannya untuk kedamaian hidup bersama, contoh : kaedah fundametilnya, menjaga ketertiban dan ketentuan, sedangkan kaedah aktuilnya, melarang perbuatan melawan hukum serta anarkis. Mengapa kaedah hukum diperlukan, Pertama : karena dari ketiga kaedah yang lain daripada kaedah hukum tidak cukup meliputi keseluruhan kehidupan manusia. kedua : kemungkinan hidup bersama menjadi tidak pantas atau tidak seyogyanya, apabila hanya diatur oleh ketiga kaedah tersebut.

filsafat pemerintahan ini diimplementasikan dalam etika pemerintahan yang membahas nilai dan moralitas pejabat pemerintahan dalam menjalankan aktivitas roda pemerintahan. Oleh karena itu dalam etika pemerintahan dapat mengkaji tentang baik-buruk, adil-zalim, ataupun adab-biadab prilaku pejabat publik dalam melakukan aktivitas roda pemerintahan. Setiap sikap dan prilaku pejabat publik dapat timbulkan dari kesadaran moralitas yang bersumber dari dalam suara hati nurani meskipun dapat diirasionalisasikan.

Contoh dalam kehidupan masyarakat madani (civil society) ataupun masyarakat demokratis, nilai dan moralitas yang dikembangkan bersumber kepada kesadaran moral tentang kesetaraan (equlity), kebebasan (freedom), menjunjung tinggi hukum, dan kepedulian atau solidaritas.

Dari segi etika, pemerintahan adalah perbuatan atau aktivitas yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan. Oleh karena itu perbuatan atau aktivitas pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moralitas serta budaya baik antara pemerintahan dengan rakyat, antara lembaga/pejabat publik pemerintahan dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut Prinsip Kepatutan dalam pemerintahan dengan pendekatan moralitas sebagi dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi fondasi etis bagi pejabat publik dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas pemerintahan.

Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahan adalah :

  1. Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.
  2. kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya (honesty).
  3. Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
  4. kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan (fortitude).
  5. Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).
  6. Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara profesionalisme dan bekerja keras.

Karena pemerintahan itu sendiri menyangkut cara pencapaian negara dari prespekti dimensi politis, maka dalam perkembangannya etika pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subyeknya adalah negara, sedangkan etika pemerintahan subyeknya adalah elit pejabat publik dan staf pegawainya.

Etika politik berhubungan dengan dimensi politik dalam kehidupan manusia yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik seperti contoh : tatanan politik, legitimasi dan kehidupan politik. Bentuk keutamaannya seperti prinsip demokrasi (kebebasan berpendapat), harkat martabat manusia (HAM), kesejahteraan rakyat.

Etika politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat dipertanggungjawabkan dengan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara.

Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para elit pejabat publik dan staf pegawai pemerintahan. Oleh karena itu dalam etiak pemerintahan membahas prilaku penyelenggaraan pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, kewenangan termasuk legitimasi kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik dan buruk.

Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya.

Daftar pustaka :

1. Dr. Ir. Dharma setyawan salam, M.Ed, “Manajemen Pemerintahan Indonesia”.

2. Sudirman, SH. MH. “Teori Hukum”.

3. Suriasumantri, Jujun S. “Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer”.

 

motivasi

Standar

Kecantikan yang abadi terletak pada keelokkan adab dan ketinggian ilmu seseorang, bukan terletak pada wajah dan pakaiannya. (Hamka).

Yang meninggikan darjat seseorang ialah akal dan adabnya, bukan asal keturunannya.

( Aristotle )

Adab dan sopan itu lebih penting daripada makan dan minum.( Aristotle ).

Mahkota adab dan sopan santun lebih tinggi nilainya daripada mahkota yang bertahtakan ratna dan mutu manikam.( Budiman ).

Kata-kata yang lemah dan beradab dapat melembutkan hati dan manusia yang keras. ( (Hamka).

Bertambah kuat kepercayaan kepada agama, bertambah tinggi darjatnya di dalam pergaulan hidup, dan bertambah naik tingkahlaku dan akal budinya. ( Hamka ).

Pergaulan mempengaruhi didikan otak.Oleh itu, untuk kebersihan jiwa hendaklah bergaul dengan oarang-orang beradab dan berbudi mulia yang dapat kita kutip manfaatnya. (Hamka).

Sifat utama pemimpin ialah beradab dan mulia hati. ( Imam Al-Ghazali).

Undang-undang adab dan budi pekerti membentuk kemerdekaan bekerja.Undang-undang akal membentuk kemerdekaan berfikir.Dengan jalan menambah kecerdasan akal,bertambah murnilah kemerdekaan berfikir. ( Hamka).

Di dalam medan hidup,ada beberapa undang-undang yang harus dijaga dan diperhatikan.Ada yang berhubungan dengan kesihatan tubuh,dengan keberesan akal dan yang berhubung dengan kemuliaan adab dan budi. ( Hamka).

Kata Hukama,” Hendaklah adab sopan anak-anak itu dibentuk sejak kecil kerana ketika kecil mudah membentuk dan mengasuhnya.Belum dirosakkan oleh adat kebiasaan yang sukar ditinggalkan. ( Hamka ).

Mengikut adab kesopanan,tetamu yang tidak menghormati diri dan tidak menghormati ahli rumah yang ditemui,bukanlah orang yang patut dihormati.( Hamka)

Orang beradab pasti pandai menghormati keyakinan orang lain,walaupun dia sendiri tidak sesuai dengan keyakinan itu. (Hamka).

Sesungguhnya orang yang termasuk orang yang baik-baik ialah orang yang paling baik akhlak dan adab sopannya. ( Maksud hadis ).

Standar

mengapa manusia dilahirkan untuk dimatikan ???

manusia yang tercipta dari 7 lapis tanah
di tiupkan ruh yang berasal dari ruh ilahiah nan suci
hingga hidup dan bergerak manusia di muka bumi
ia memiliki nyawa dan kehidupan di dalam jasadnya

namun saat manusia meninggal
yang tertinggal hanyalah jasad kosong tanpa isi
tanpa nyawa, tanpa ruh dan tanpa kehidupan
yang berselimutkan kain yang menutupi seluruh jasad
jasad yang tertidur di dalam keranda-keranda serta peti-peti yang diam dan dingin

lantas selama kehidupannya apa yang patut di banggakan
seluruh hidupnya dan segala sesuatu yang ia miliki seluruhnya hanyalah pinjaman
pinjaman dari yang Maha Pencipta atas cinta-Nya kpd makhluknya

dan apa yang harus di sedihkan
karena sejak awal tidak ada yang dimiliki
kecuali hilangnya waktu dan kesempatan utk menambah amal kebaikan sebagai teman saat kematian menjemput

Karakteristik Kepemimpinan Ideal Menurut Raja Ali Haji dan Relevansinya dengan Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan di Indonesia

Standar

A. Pendahuluan

Reformasi di Indonesia mencita-citakan adanya sistem pemerintahan yang baik, bersih,  dan anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Cita-cita ini diharapkan dapat berimplikasi pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat serta terangkatnya martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Namun apa yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat sekarang ini belum sesuai dengan cita-cita tersebut.

Era reformasi satu dekade berlalu, namun pengelolaan pemerintahan Indonesia masih sarat silang-sengkarut oleh kepentingan-kepentingan elit yang tidak kunjung mendekat pada kemakmuran rakyat bersama (bad governance). Kaburnya standar dan komitmen moral, diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan perlakuan diskriminatif terhadap koruptor, tidak saja memperbusuk kultur birokrasi, tetapi juga merusak perilaku masyarakat dan bangunan budaya yang sehat. Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah para tokoh agama dan intelektual kampus telah menjelma dan bermetamorfosis menjadi aktor politik, lalu terbawa arus, yang kemudian mengaburkan komitmen moral-intelektualnya.

Berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi sosial bangsa Indonesia tersebut, melalui tulisan singkat ini penulis bermaksud menggugah dan mengetuk hati para pemimpin bangsa ini, penyelenggara negara, wakil rakyat, pembuat kebijakan, aparat penegak hukum dan semua masyarakat yang menjadi stakeholder negara dan bangsa Indonesia untuk membuka mata hati agar dapat mengedepankan moral dalam melaksanakan amanah rakyat.

Sekitar dua abad yang lalu di bumi Nusantara ini telah hidup seorang intelektual sekaligus politisi yang mempunyai keilmuan yang mumpuni, wawasan luas, kesantunan moral serta ketinggian spiritual yang bisa menjadi teladan masyarakat Indonesia sekarang ini. Dialah Raja Ali Haji (RAH). Melalui buah pikiran yang dituangkan dalam berbagai karyanya, dia mencoba memproyeksikan ilmu dan moralnya untuk membentuk masyarakat yang bermoral dan mempunyai kesalehan sosial. Etika politik yang terekam dalam karya tulisan-tulisannya kalau dicermati sebenarnya cukup relevan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance/GG). Apabila buah pikiran Raja Ali Haji tersebut dilaksanakan, maka akan sangat membantu proses pembangunan sebuah tata pemerintahan yang baik di Indonesia guna mewujudkan bangsa yang adil, makmur, sejahtera, bermoral, dan bermartabat tinggi.

 

B. Sekilas Sketsa Kehidupan Raja Ali Haji

Setidaknya, ada tiga sumber bacaan yang tergolong lengkap meng-cover kehidupan Raja Ali Haji: Pertama, Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji; Kedua, De Nederlanders in Djohor en Siak karya Elisa Netscher;  Ketiga, Geschiedenis Van Indonesie  karya H.J. de Graaf.[1]

Tulisan ini hanya akan menyinggung sekilas tentang kehidupan Raja Ali Haji. Nama lengkapnya adalah Tengku Ali al-Haji bin Engku Haji Ahmad bin Raja Haji As-Syahidu fi Sabilillah bin Opu Daeng Celak. Beliau dilahirkan di Pulau Penyengat Indera Sakti pada tahun 1808/1809 M.[2] Ibunya bernama Encik Hamidah, putri Raja Selangor. Sedangkan ayahnya, Raja Ahmad, merupakan tokoh penting dalam bidang politik di Kerajaan Riau-Lingga. Jadi, Raja Ali Haji adalah cucu dari Raja Haji Fisabilillah Yang Dipertuan IV dari Kerajaan Riau-Lingga[3] dan merupakan keturunan bangsawan Bugis.[4] Maka, wajarlah apabila ia sangat berpengaruh dalam pemerintahan dan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Pendidikan dasarnya dimulai dari lingkungan istana Kerajaan Penyengat, terutama dari tokoh-tokoh terkemuka yang datang dari berbagai daerah, karena waktu itu di Pulau Penyengat memang banyak ulama yang berdatangan dari berbagai negeri untuk meramaikan pusat kebudayaan Melayu, khususnya melakukan kajian ajaran Islam. Beliau menerima pendidikan tradisional sebagaimana anak-anak Islam lain, yaitu dengan belajar membaca al-Qur‘an dan pelajaran dasar-dasar agama Islam, khususnya tauhid dan fikih.[5] Pada awalnya, ia dididik oleh ayahnya, Raja Ahmad yang memang terkenal sebagai seorang intelektual pada masa itu. Pengajian seterusnya didapat melaui ulama-ulama yang silih berganti datang ke Riau sejak pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Ja‘far.[6]

Pada masa itu, Riau merupakan “Kota Pelajar” yang banyak menyedot pelajar dari berbagai daerah yang kemudian berdomisili untuk mengajar dan belajar di sana. Riau memang menjadi daerah yang paling unggul dalam bidang bahasa dan kesusasteraan dibanding daerah lainnya pada masa itu. Bahasa dan sastra dipelihara dan dikembangkan secara bersemangat dan menyentuh semua kalangan. Kesempatan inilah yang  dimanfaatkan oleh Raja Ali Haji dengan sebaik-baiknya. [7]

Pada tahun 1822,  sewaktu masih kecil ia telah dibawa oleh orang tuanya ke Batavia. Saat itu orang tuanya, Raja Haji Ahmad, menjadi utusan Riau untuk bertemu dengan Gubernur Jendral Godart Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen.[8] Ketika itulah Raja Ali Haji mememui para ulama guna memperdalam pengetahuan Islamnya, terutama ilmu fikih. Selain dapat memperdalam ilmu pegetahuan keislaman, Raja Ali Haji juga telah banyak mendapat pengalaman dan pengetahuan dari pergaulan dengan sarjana-sarjana kebudayaan Belanda, seperti T. Roode dan H. van der Waal yang kemudian menjadi sahabatnya.[9]

Sekitar tahun 1828, Raja Ahmad dan Raja Ali pergi menunaikan ibadah haji ke tanah Mekkah. Kesempatan ini dipergunakan pula oleh Raja Ali Haji untuk menambah pengetahuannya dengan tinggal dan belajar di Mekkah untuk beberapa waktu. Selama berada di Mekkah, Raja Ali Haji mencurahkan waktunya untuk memperdalam bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan agama.[10] Memang ia telah mendapatkan didikan dari guru yang terpilih, tetapi penyempurnaan pengetahuannya dicapai di tanah suci Mekkah yang merupakan pusat ibadah dan pengetahuan agama. Selama di Mekkah, Raja Ali Haji sempat berhubungan dengan Syekh Daud bin Abdullah al-Fatani, seorang yang terpandang di kalangan masyarakat Melayu di Mekkah.[11] Pengasahan ilmu di sinilah yang mengantarkan sosok Raja Ali Haji menjadi ulama yang terpandang dan ilmuwan terkemuka yang produktif dengan ragam keahlian yang mencakup berbagai bidang, khususnya  agama, bahasa, sastra, sejarah, hukum, dan tata negara.[12]

Setelah kepulangan Raja Ali Haji, Kerajaan Riau-Lingga, Johor, dan Pahang bertambah masyhur. Karya- karyanya yang bersifat sejarah banyak dibicarakan oleh ahli bahasa dan sastra di Nusantara, bahkan sampai di luar negeri. Di bawah asuhan sejumlah sastrawan dengan dipelopori Raja Ali Haji, bahasa Melayu Riau menjadi bahasa yang benilai standar, dan bahkan menjadi bahasa resmi, bahasa nasional Indonesia.[13]

Raja Ali Haji juga mempunyai peran yang signifikan di wilayah Kerajaan Melayu Riau pada abad XIX, terutama karena perhatian beliau pada berbagai bidang sosial budaya, yang kemudian menjadi permasalahan yang aktual dalam kehidupan manusia. Ketika saudara sepupunya, Raja Ali bin Raja Ja‘far diangkat menjadi Yamtuan muda, Raja Ali Haji diangkat menjadi penasihat keagamaan negara. Perlu digarisbawahi, Raja Ali Haji adalah Muslim yang taat dan sangat berpengaruh pada masa itu. Keahliannya dalam berbagai hal seperti agama, silsilah, sejarah, kesusasteraan, dan hukum sangat mendukung eksistensinya. Karirnya di bidang politik membuat Belanda harus mengakui kepemimpinanya di kalangan masyarakat  Pulau Penyengat.[14]

Raja Ali Haji wafat pada tahun 1873, dan dimakamkan di pulau kelahirannya tersebut. Meskipun jasadnya telah tiada, namun namanya masih selalu mengorbit melalui buah karyanya yang masih menghiasi berbagai perpustakaan di Nusantara bahkan mancanegara. Karena jasanya yang begitu besar dalam bidang bahasa dan sastra, pada tahun 2004, Raja Ali Haji dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, atas karyanya Kitab Pedoman Bahasa yang ditetapkan sebagai bahasa nasional (bahasa Indonesia), dari Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono.

 

C. Kepemimpinan Ideal Menurut Raja Ali Haji: Tinjauan Etika Politik[15]

Bertuah rumah ada tuannya
Bertuah negeri ada pucuknya
Elok rumah ada tuannya
Elok negeri ada rajanya[16]

Ungkapan di atas merupakan ungkapan adat Melayu yang menyatakan urgensi kepemimpinan dalam sebuah komunitas. Dalam semua komunitas sangat dibutuhkan figur seorang pemimpin, baik dalam kehidupan manusia bernegara, bermasyarakat, maupun berumah tangga. Ajaran Melayu berusaha mengangkat seorang pemimpin yang lazim disebut “orang yang dituakan” oleh masyarakat dan kaumnya. Pemimpin ini diharapkan dapat membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun masyarakat dalam arti luas, baik untuk kepentingan hidup duniawi maupun ukhrawi. Pemimpin seperti ini yang akan mampu memberikan kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah kepada masyarakat.[17]

Seorang pemimpin wajib ditaati dan dihormati selama baik dan benar. Pemimpin yang diangkat oleh masyarakat disebut “ditinggikan seranting, dimajukan selangkah”  yang lazimnya diambil atau dipilih dari warga masyarakat yang memenuhi kriteria tertentu. Orang seperti inilah yang dijadikan contoh dan teladan yang “lidahnya asin pintanya kabul”,  yang dianggap mampu mendatangkan kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Jadi, seorang pemimpin harus benar-benar orang pilihan yang berwibawa, memiliki berbagai keutamaan dan kelebihan untuk mendukung misi kepemimpinannya. Oleh karena itu, ia harus dihormati dan dibantu sekuat-kuatnya oleh masyarakat yang dipimpinnya. [18]

Mengenai masalah kepemimpinan dalam sebuah wilayah atau negara, Raja Ali Haji sangat menekankan pentingnya ajaran Islam, khususnya dalam praktik-praktik politik penguasa. Ajaran Islam harus menjadi basis perumusan, gerakan moral, dan etika politik pemerintahan, sehingga kebijakan-kebijakan politik penguasa seluruhnya didasarkan pada prinsip ajaran Islam. Baginya, raja dengan moralitas keislaman merupakan prasyarat bagi terciptanya kehidupan yang baik dalam masyarakat.[19]

Berangkat dari pandangan ini, Raja Ali Haji berusaha membangun kembali supremasi politik kerajaan Melayu sebagai satu bangunan sosial-politik bagi masyarakat Melayu yang berlandasakan pada ajaran Islam. Untuk mewujudkan hal ini, beliau membuat kriteria pemimpin dan kepemimpinan yang ideal.

 

1. Kriteria Pemimpin

Sebagaiman al-Ghazali, Raja Ali Haji menghendaki adanya proyeksi nilai-nilai moral spiritual agama dari setiap Muslim ke dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Fenomena kemanusiaan dan keruntuhan suatu masyarakat, tidak semata-mata disebabkan oleh mundurnya pemikiran, tetapi juga oleh keruntuhan moral spiritual yang melanda para pemimpinnya.[20] Oleh karena itu, seorang raja, selain harus menguasai ilmu pengetahuan, tata pemerintahan, dan wawasan yang luas, ia juga harus mempunyai moralitas yang tinggi.

Masyarakat yang adil dan makmur akan tercipta apabila pemimpin sebagai pelaksana amanah rakyat mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi. Karena pemimpin mempunyai peran yang sangat dominan dalam menjalankan pemerintahan. Pemimpin memegang tanggung jawab yang berat dan tugas yang mulia, maka ia harus mempunyai kepribadian yang sempurna dan berusaha terus menyempurnakannya.[21] Karakteristik dan moralitas pemimpin merupakan masalah utama yang menjadi perhatian Raja Ali Haji, karena raja merupakan simbol kekuasaan dan kredibilitas suatu bangsa, dan pemimpin tertinggi dari suatu negara.[22]

Mengenai betapa pentingnya menjunjung moralitas seorang pemimpin, dalam bukunya Tsamarah al-Muhimmah, Raja Ali Haji menerangkan bahwa pemimpin, dalam hal ini adalah raja suatu negeri, adalah seperti nyawa di dalam tubuh adanya, maka jika nyawa itu bercerai daripada tubuh niscaya binasalah tubuh itu,”[23]

Terkait dengan syarat seorang pemimpin, dalam kitab Tsamarat al- Muhimmah,[24] Raja Ali Haji mengemukakan persyaratan atau kriteria, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat batin. Syarat pemimpin yang bersifat lahir antara lain: 1) Raja harus Islam; 2) Seorang pemimpin hendaknya laki-laki; 3) Mempunyai pembicaraan yang baik; 4) Mempunyai pendengaran yang baik; 5) Mempunyai penglihatan yang baik.[25]

Sifat-sifat di atas kalau kita lihat sekilas memang hanya bersifat lahiriyah, namun sebenarnya mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi. Syarat Islam pada dasarnya bukan hanya Islam secara lahir atau pengakuan secara lisan, akan tetapi secara batin seorang pemimpin harus benar-benar mencerminkan nilai-nilai moral Islam, seperti jujur, adil, toleran, dan seterusnya. Bukan hanya itu, seorang pemimpin harus mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam aktivitas sehari-hari, khususnya dalam menjalankan roda kepemimpinan.

Syarat laki-laki ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai semangat yang kuat, tegas, dan pemberani. Tegas, disiplin dalam segala tindakan dan memegang teguh segala ketentuan yang berlaku. Pemimpin laki-laki dengan kata lain adalah bahwa pemimpin harus jantan. Dalam hal ini, ia patut dicontoh, jadi panutan, mempunyai akal yang sempurna, tokoh sepadan, dan gagah berani, yang menjadi “pakaian” dalam dirinya. Dalam ungkapan Melayu disebutkan “yang disebut pemimpin jantan, syarak, dan adat jadi pakaian”.[26] Pemimpin tidak boleh kerdil, lemah semangat, berwawasan sempit, dan tidak mampu mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Sebagaimana dalam ungkapan Melayu, “pemimpin kerdil hatinya kecil, duduk selalu mencil-mencil” (pemimpin yang lemah semangat, tidak berdaya, rendah diri, dan tidak memiliki kemampuan menjadi pemimpin).[27]

Mempunyai pendengaran dan pengelihatan yang baik berarti seorang pemimpin harus mau mendengarkan dan melihat suara hati nurani rakyat, perhatian, mengayomi, memperhatikan aspirasi mereka, dan dapat melihat realitas yang terjadi di masyarakat  yang dipimpinnya. Berbicara dari hati nurani, dan bukan hanya di mulut, artinya pembicaraannya sesuai dengan realitas dan fakta, bukan hanya sekedar di mulut. Pemimpin yang hanya sekedar di mulut dalam ungkapan Melayu disebutkan, “Pemimpin mulut hanya sekedar menyebut, menjalankan tugas terkentut-kentut, kalau memikul beban hatinya kecut, menghadapi masalah nyawanya ke buntut.”[28]  Oleh karena itu, Raja Ali Haji menyaratkan pemimpin harus mempunyai  pendengaran, pengelihatan, dan pembicaraan yang baik. Hal ini sangat penting untuk menjalin hubungan yang harmonis  dan konstruktif antara seorang pemimpin dan masyarakat yang dipimpin.

Adapun syarat seorang pemimpin yang terkait dengan sifat batiniyah antara lain: 1) Mukallaf; 2) Merdeka; 3) Adil; 4) Mempunyai kemampuan ijtihad yang baik; 5) Mempunyai keberanian yang kokoh; 6) Rajin, tidak malas mengurusi permasalahan yang ada di dalam pemerintahannya. [29]

Mukallaf di sini berarti sudah cakap hukum, yaitu seorang pemimpin sudah dapat bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan. Kebijakan dan semua langkahnya dalam menjalankan roda kepemimpinan benar-benar lahir dari pemikiran yang dewasa. Karena pemimpin harus bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Ungkapan Melayu menyatakan: “Orang beradab bertanggung jawab”.[30]

Sedangkan syarat merdeka di sini antara lain berarti bahwa kebijakan pemimpin harus bebas dari kepentingan pribadi atau kelompok dan benar-benar mandiri. Pemimpin harus benar-benar bisa memosisikan dirinya di atas kepentingan semua kelompok, kepentingan masyarakat luas yang dipimpinnya. Kebijakan yang diambil tidak berdasar pada tekanan kepentingan atau pihak-pihak tertentu, independen, dan benar-benar berdasarkan suara hati nurani rakyatnya.

Prinsip keadilan bagi seorang raja lebih bernuansa penghargaan yang sama kepada semua orang dengan tidak membedakan dari mana unsur atau golongan. Hal ini dibuktikan dengan jalannya hukum yang berlaku tanpa pandang bulu.[31] Adil berarti harus benar dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai perilaku hukum dan undang-undang, agama, adat, dan norma sosial yang dianut masyarakat. Ungkapan Melayu “yang disebut adil, tidak membedakan besar dan kecil”.[32]

Pada dasarnya, adil ini perspektif, artinya menurut seseorang adil belum tentu menurut yang lain adil. Namun demikian, ada pemahaman intersubyektif, bahwa adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam konteks kepemimpinan berarti bertindak dan memberikan hak masyarakat yang dipimpinnya secara proporsional dan profesional. Mendahulukan mana yang harus didahulukan, memberikan sesuatu kepada yang berhak, menindak yang melanggar aturan, tidak diskriminasi, dan sebagainya.

Mempunyai ijtihad yang baik, seorang pemimpin harus benar-benar cermat dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Keputusan yang diambil harus benar-benar berdasarkan pemikiran yang mendalam dan pertimbangan yang cermat dan matang. Selain itu, juga mempertimbangkan efek manfaat dan madharat dari keputusan atau kebijakan tersebut. Syarat ini juga berarti pemimpin harus visioner, mampu merencanakan dan menatap masa depan dengan cermat dan baik. Dalam ajaran Melayu, dinyatakan bahwa masyarakat harus berpandangan jauh ke depan, berpikiran panjang, hidup tidaklah untuk masa silam dan hari ini, tetapi juga amat penting untuk masa depan, baik kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat.  Dengan memandang jauh ke depan, maka pemimpin diharapkan memilki wawasan yang luas, pikiran panjang, dan perhitungan yang semakin cermat. Berpandangan jauh ke depan akan menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap generasi berikutnya.[33]

Seorang pemimpin, menurut Raja Ali Haji, juga harus mempunyai keberanian yang tinggi, sehingga kepemimpinannya benar-benar kredibel dan bisa lepas dari tekanan dan kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak sesuai dengan kemauan rakyat. Sifat rajin berarti seorang pemimpin harus benar-benar all out dalam mencurahkan pikiran, waktu, dan tenaganya untuk mengurusi kepentingan rakyat. Seorang pemimpin harus benar-benar siap dan mau berkorban lahir dan batin demi kemashlahatan dan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya.

Membahas masalah kepemimpinan Raja Ali Haji menggunakan istilah “raja”, karena sistem pemerintahan yang ada di masa hidupnya adalah berbentuk kerajaan atau kesultanan. [34] Apabila ditarik ke era sekarang, raja ini berarti kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, kepala daerah, DPR, atau siapa pun yang mengemban amanah rakyat. Kriteria di atas menunjukkan bahwa beliau menginginkan seorang pemimpin yang benar-benar mampu melaksanakan dan mencapai kemaslahatan umum bagi seluruh rakyat.

Menurut Raja Ali Haji, pada hakikatnya seorang pemimpin, dalam hal ini adalah raja, merepresentasikan tiga kepemimpinan sekaligus, yaitu, pertama, pemimpin (raja) merepresentasikan eksistensi seorang khalifah. Raja sebagai khalifah maksudnya ialah raja sebagai pengganti Tuhan di bumi sekaligus pengganti Nabi Muhammad, sehingga harus melanjutkan syariat dan ajaran-ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Kedua, pemimpin (raja) merepresentasikan seorang imam. Sebagai imam, maksudnya hampir sama dengan imam shalat, yang setiap perbuatannya harus diikuti oleh makmum. Oleh karena itu, raja harus bertindak sesuai petunjuk al-Qur‘an dan al-Hadis, agar perbuatannya tidak menyimpang dari kehendak Allah. Itu berarti pula raja harus menghindarkan rakyatnya dari kekafiran, kemungkaran, dan kemaksiatan. Ketiga, pemimpin (raja) merepresentasikan eksistensi seorang sultan. Sultan di sini maksudnya bahwa raja telah mendapat kepercayaan dari rakyat dan segala kepentingan rakyat diserahkan kepadanya. Oleh karena itu, raja harus memerintah dengan adil, bijaksana, sesuai dengan petunjuk al-Qur‘an dan al-Sunnah.[35] Karakteristik pemimpin ideal di atas dirumuskan dengan harapan dapat tercipta kepemimpinan yang kredibel.

Cukup lengkap kriteria pemimpin pemimpin yang diungkapkan oleh Raja Ali Haji, meliputi syarat lahir dan batin. Semakin lengkap pakaian batinnya, semakin sempurna penampilannya, semakin terpuji kepemimpinannya, dan semakin dihormati orang.[36]

 

2. Kepemimpinan ideal

Pemerintahan ideal, menurut Raja Ali Haji, ialah pemerintahan gaya Islam. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang kehidupan beliau, sebagai orang yang tidak hanya banyak mengetahui perihal Islam tetapi juga fanatik terhadap ajaran Islam. Raja Ali Haji menyadari bahwa dalam pandangan Islam Tuhan mempunyai posisi yang amat sentral dalam setiap bentuk dan manifestasi pemikiran. Dalam pemikiran Islam, Tuhan merupakan sumber dari kebenaran, dan kebenaran hanya datang dari Tuhan.[37]

Menurut Raja Ali Haji, setidaknya ada tiga tugas pokok seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya. Tiga tugas pokok yang apabila dijalankan dengan baik akan membawa kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi masyarakatnya, yaitu: pertama, seorang pemimpin (raja) jangan sampai luput dari rasa memiliki terhadap hati rakyat.[38] Hal ini penting karena pemimpin tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang dipimpinnya. Adanya pemimpin karena ada rakyat. Dengan demikian, dalam menjalankan roda pemerintahan harus terjalin hubungan yang harmonis dan seirama antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin, agar terjadi sinergi, sehingga pemerintahan berjalan dengan baik. Raja Ali Haji pernah menyatakan “rakyat itu umpama akar, yang raja itu umpama pohon; jikalau tiada akar niscaya pohon tiada akan dapat berdiri,”[39]

Kedua, pemimpin harus berhati-hati bila menerima pengaduan dari masyarakat karena menurutnya ada tiga macam pengaduan, yaitu: (1) pengaduan jenis malaikat; (2) pengaduan jenis hawa nafsu; dan (3) pengaduan jenis setan.[40] Dari ketiga jenis pengaduan tersebut hanya pengaduan jenis malaikat saja yang sesuai dengan hukum Islam dan harus ditindaklanjuti oleh seorang pemimpin.[41] Ketiga, seorang pemimpin (raja) tidak boleh membeda-bedakan rakyat atau dengan kata lain tidak diskriminatif.[42] Dengan kata lain, pemimpin harus adil.[43]

Tiga tugas pokok di atas pada intinya menuntut raja agar dalam menjalankan pemerintahan dan kepemimpinannya harus sesuai dengan ketentuan yang telah ada dan tidak bertindak sewenang-wenang atas dasar kekuasaan. Untuk menghidari kesewenang-wenangan ini, maka harus ada hukum. Kepemimpinan ideal memang membutuhkan sosok pemimpin yang ideal pula, akan tetapi seideal apapun pemimpin tersebut tanpa adanya sistem hukum yang kuat, maka kepemimpinan atau pemerintahan tidak akan berjalan efektif.

Sebaik apapun pemimpin, dalam menjalankan pemerintahannya harus dikawal dengan sistem hukum yang kuat dan baik pula. Hal ini perlu, agar pelaksanaan pemerintahan sesuai dengan fatsun-fatsun yang ada, demi tegaknya keadilan dan bertambahnya kemakmuran masyarakat yang dipimpin. Antara pemerintahan yang baik dan hukum sangat berkaitan erat. Proses pemerintahan baru dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan apa yang diharapkan, apabila disertai hukum yang mengatur hubungan hidup bermasyarakat. Sebaliknya, hukum baru dapat berfungsi dengan baik bila didukung oleh suatu pemerintahan. Pemerintahan tanpa hukum adalah anarkhi, dan hukum tanpa pemerintahan adalah angan-angan.[44] Dalam hal ini, Raja Ali Haji menyadari benar akan arti penting dan peranan hukum dalam mendukung proses pemerintahan. Hanya saja, karena pemerintahan yang diinginkan Raja Ali Haji ialah pemerintahan yang bercorak Islam, maka hukum yang berlaku haruslah hukum Islam.[45]

Berangkat dari logika di atas, dalam suatu pemerintahan harus ada aparat penegak hukum dan lembaga hukum atau pengadilan. Oleh karena itu, Raja Ali Haji mengemukakan pentingnya mahkamah sebaga lembaga sekaligus aparat penegak hukum.[46] Para penegak hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan perkara. Proses penyelesaian suatu perkara dimusyawarahkan dalam suatu mahkamah atau peradilan. Mahkamah atau peradilan ialah tempat mendirikan hukum atas hamba Allah. Hukum yang dimusyawarahkan dalam mahkamah inilah yang dijadikan keputusan hukum bagi rakyat yang berpekara. Para ahli mahkamah dalam menjalankan tugasnya harus mengikuti kode etik, seperti tidak sombong, takabbur, bersikap adil, menjaga sopan santun, tidak bergurau, serta menguasai hukum Allah.[47]

Sosok pemimpin dan penegak hukum yang ideal, menurut Raja Ali Haji, adalah orang yang bertingkah laku baik dan melakukan kebaikan karena memiliki ruhani, jasmani, dan nama baik, yaitu “nama yang indah dan patut” sesuai dengan tuntunan agama dan dilihat oleh orang-orang yang mempunyai mata hati, berakal, yaitu orang patut-patut dan orang-orang patut.[48]

Intinya, pemikiran Raja Ali Haji menghendaki adanya seorang pemimpin yang mampu menjaga kredibilitas disiplin, konsisten, komitmen, visioner, dan hidup sederhana—artinya tidak berlebihan dalam segala sikap dan tindakan. Dengan demikian, ia mampu menjalankan kepemimpinan dengan baik, sehingga tercipta masyarakat yang adil makmur dan sejahtera serta bermoral.

 

D. Relevansi Konsep Kepemimpinan Ideal Raja Ali Haji dengan Good Governance (GG)

Governance dalam perspektif penyelenggara negara merupakan pelaksana kewenangan politik, ekonomi, dan administratif. Kewenangan tersebut untuk mengelola urusan-urusan bangsa, mekanisme, proses, dan hubungan antarwarga negara dan kelompok kepentingan. Kewenangan inilah yang menjamin terlaksananya hak dan kewajiban warga serta menengahi atau memfasilitasi jika terjadi perbedaan kepentingan antarkelompok. Untuk itu, penyelenggara negara mempunyai tiga pilar, yaitu economic governance, political governance, dan administrative governance.

Good Governance adalah tata kelola organisasi secara baik dengan  prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Tata kelola organisasi secara baik dilihat dalam konteks mekanisme internal organisasi dan mekanisme eksternal  organisasi. Mekanisme internal lebih fokus kepada bagaimana pimpinan suatu organisasi mengatur jalannya organisasi sesuai dengan ketiga prinsip di atas, sedangkan mekanisme eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi organisasi dengan pihak eksternal berjalan secara harmonis tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi.[49]

Dengan menegakkan sistem good governance dalam suatu organisasi diharapkan terjadi peningkatan dalam hal: Pertama, efisiensi, efektivitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan masyarakat, pegawai, dan stakeholder lainnya, adalah solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi ke depan. Kedua, legitimasi organisasi yang kelola dengan terbuka, adil, dan dapat  dipertanggungjawabkan. Ketiga, mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para stakeholders. Keempat, pendekatan yang terpadu berdasarkan kaidah-kaidah demokrasi,  pengelolaan dan partisipasi organisasi secara legitimate.[50]

Tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Tata Pemerintahan yang baik memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1. Mengikutsertakan semua komponen terkait;
  2. Transparan dan bertanggung jawab;
  3. Efektif dan adil;
  4. Menjamin adanya supremasi hukum;
  5. Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat;
  6. Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumber daya pembangunan.[51]

Tata kelola pemertintahan yang baik (Good Governance) juga mempunyai prinsip-prinsip yang tidak terlepas dari prinsip Good Corporate Governance (GCG). Sebagaimana GCG, prinsip-prinsip GG meliputi transparansi, responsibilitas, partisipatif, dan non-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).[52]

Mutu kepemimpinan di semua tingkat kehidupan masyarakat sangat menentukan perjalanan kepemimpinan. Kalau para pemimpin jujur, terbuka, rendah hati, adil, berdedikasi tinggi, bebas pamrih, bertanggung jawab, berorientasi pada prestasi dan pada pelayanan masyarakat, dapat dipercaya dan bersedia untuk memimpin dan mendahului juga dalam berbuat kebajikan atau pengorbanan, maka etos kerja mereka yang dipimpin dengan sendirinya akan terangkat.[53]

Pada dasarnya, kalau kita cermati karakteristik dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik di atas mempunyai persamaan dan korelasi yang erat serta relevan dengan pola kepemimpinan yang ideal dalam perspektif Raja Ali Haji. Hal ini bisa kita lihat dari prinsip-prinsip yang digunakan. Misalnya, syarat  mengikutsertakan semua komponen terkait (partisipatif). Ciri ini secara tidak langsung relevan dengan pandangan Raja Ali Haji tentang  tugas (wazhifah) seorang pemimpin yang harus melibatkan masyarakat yang dipimpinnya, agar kepemimpinannya dapat berjalan lancar dan efektif. Pemimpin tidak boleh luput dari rasa memiliki hati rakyat,[54] Dalam menjalankan roda kepemimpinan harus ada jalinan erat yang harmonis dan seirama antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin, agar terjadi sinergi, sehingga pemerintahan berjalan dengan baik.

Berdasarkan prinsip di atas, maka kesenjangan antara pemimpin dan masyarakat yang dipimpin harus dihilangkan, atau setidaknya dikurangi. Dalam konteks Indonesia, pengurangan kesenjangan dalam berbagai bidang, baik antara pusat dan daerah maupun antardaerah, yang dilakukan secara adil dan proporsional merupakan wujud nyata prinsip pengurangan kesenjangan. Hal ini juga mencakup upaya menciptakan kesetaraan dalam hukum (equity of the law) serta mereduksi berbagai perlakuan diskriminatif yang menciptakan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat yang berkepentingan dapat ikut serta dalam proses perumusan dan/atau pengambilan keputusan atas kebijakan publik yang diperuntukkan bagi masyarakat. Karena masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

Prinsip lain yang sesuai dengan pemikiran Raja Ali Haji adalah prinsip menjamin adanya supremasi hukum. Ciri ini relevan dengan pendapat Raja Ali Haji yang menyatakan bahwa kepemimpinan yang baik harus dikawal dengan sistem yang baik pula. Hukum di sini mencakup peraturan, lembaga hukum dan aparat penegaknya. Raja Ali Haji menyadari benar akan arti penting dan peranan hukum dalam mendukung proses pemerintahan.

Pemerintahan yang baik memang harus dikawal dengan hukum. Penegakan hukum merupakan syarat pokok dalam sebuah negara agar prinsip-prinsip GG dapat diimplementasikan. Karena ada kaitan yang erat antara suatu bidang dengan bidang yang lain. Tata kelola yang baik tidak hanya terkait dengan kegiatan ekonomi, tetapi juga dengan hukum, politik, budaya, dan bidang-bidang yang lain. Pembuat kebijakan publik misalnya, memiliki tanggung jawab untuk memastikan adanya keseimbangan antara peraturan yang dibuatnya dengan perjanjian yang dibuat. Hukum dan pelaksanaannya merupakan bagian yang sangat esensial bagi terwujudnya good governance.[55]

Implementasi prinsip GG secara efektif memerlukan hukum sebagai sarana untuk mendorong ditaatinya nilai-nilai etis tersebut dalam kepemimpinan. Dalam melindungi berbagai pihak yang terkait (stakeholder) diperlukan penegakan hukum (law enforcement) dan regulasi yang terkait dengan implementasi prinsip-prinsip GG ini secara privat (perdata) dan publik.

Selanjutnya, prinsip transparansi dan bertanggung jawab atau responsibilitas. Prinsip transparan menghendaki adanya keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material mengenai pelaksanaan pemerintahan. Sedangkan prinsip bertanggung jawab menghendaki adanya pertanggungjawaban pelaksana pemerintahan atas segala kebijakan yang telah diambil dan dilaksanakan, baik pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat. Prinsip ini sesuai dengan pandangan Raja Ali Haji bahwa seorang pemimpin harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Allah. Hal ini karena seorang pemimpin merepresentasikan seorang Khalifah. Dengan demikian, ia merupakan menjadi pengganti Nabi Muhammad dan sebagai pengganti Tuhan di bumi, sehingga harus melanjutkan ajaran-ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, sehingga ia harus bertanggung jawab atas segala tindakannya kepada Tuhan.

Mengenai prinsip bertanggung jawab, dalam GG, pertanggungjawaban harus dicantumkan dalam sebuah peraturan. Peraturan itu juga harus menentukan antisipasi persoalan antara pemerintah dan stakeholder  yang muncul karena adanya perbedaan pendapat dan kepentingan antara pemerintah dan stakeholders. Di samping itu,  ditentukan secara cukup dan jelas fungsi, hak, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing jajaran birokrat dalam pengelolaan atau pemerintahan.[56] Prinsip tanggung jawab dan transparansi termasuk pula publikasi yang akurat, dan arti tanggung jawab terhadap seseorang adalah kunci dari sebuah keputusan.

Prinsip transparansi dalam pemerintahan berkaitan dengan prinsip keadilan. Oleh karena jalannya prinsip keadilan harus didukung oleh transparansi keadaan pemerintahan. Wujud nyata prinsip ini antara lain dapat dilihat apabila  masyarakat mempunyai kemudahan untuk mengetahui serta memperoleh data dan informasi tentang kebijakan, program, dan kegiatan aparatur pemerintah, baik yang dilaksanakan di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena prinsip transparansi tersebut dapat berfungsi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien. Barry A.K. Rider mengatakan, “Sun light is the best disinfectant and electric light the best policeman.”[57]

Karakteristik tata pemerintahan yang baik selanjutnya adalah efektif dan adil. Karakter ini sesuai dengan pemikiran Raja Ali haji yang menyatakan bahwa seorang pemimpin merepresentasikan seorang sultan dalam menjalankan kepemimpinannya. Sultan di sini maksudnya bahwa raja telah mendapat kepercayaan dari rakyat dan segala kepentingan rakyat diserahkan kepadanya. Oleh karena itu, raja harus memerintah dengan adil, bijaksana, sesuai dengan petunjuk al-Qur‘an dan Hadis.

Dalam good governance, peraturan berkenaan dengan pengelolaan atau pemerintahan harus menentukan jaminan yang cukup dan secara tegas dengan sanksi yang cukup, di mana pelaksanaan pemerintahan dikelola dengan adil. Di samping itu, tata kelola pemerintahan itu harus menentukan secara cukup antisipasi terhadap kemungkinan praktik pemerintahan yang dapat merugikan. Selanjutnya, peraturan tersebut harus menentukan secara cukup bahwa setiap kebijakan publiknya harus dapat dilaksanakan secara efektif.[58]

Formulasi prinsip keadilan tersebut, juga harus melakukan pendekatan pada prinsip pengawasan, di mana kepemimpinannya mempunyai peran yang cukup untuk mengawasi pemerintahan. Alasan dilakukan pengawasan itu berkaitan dengan upaya menjaga kepercayaan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistem pemerintahan diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor yang sangat krusial dalam pemerintahan.[59]

Hampir semua kalangan sepakat bahwa penerapan GG dalam sebuah negara merupakan sebuah keharusan, namun hal ini tidak akan berati tanpa adanya penegakkan hukum. Karena GG lebih merupakan etika politik dibandingkan suatu keharusan dalam penerapannya (mandatory). Lalu bagaimana prinsip-prinsip etik ini akan berjalan efektif pada pemerintahan di Indonesia? Oleh karena itu, penerapan GG perlu pengawal yang tegas, yaitu penegakan hukum secara konsisten dan berkelanjutan.

Banyak peraturan hukum yang mewajibkan pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik di Indonesia, antara lain:

  1. Tap MPR No. XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
  2. Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah  jo UU No. 32 tahun 2004;
  3. Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
  4. PP No. 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  5. UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  6. Instruksi Presiden RI No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.[60]

Keberadaan berbagai peraturan hukum tersebut belum menghasilkan apa yang diharapkan oleh semua pihak, bahkan KKN semakin merajalela. Peraturan dan perundang-undangan yang sudah dibuat dengan susah payah seringkali dinafikan dan diabaikan, sehingga hukum sangat sulit untuk ditegakkan. Padahal, untuk mewujudkan good governance pelaksanaan aturan-aturan di atas mutlak dibutuhkan. Pelaksanaan pemerintahan yang baik, penegakan hukum merupakan pilar utama yang menopang kelangsungannya. Oleh karena itu, sekali lagi penulis tegaskan tentang perlunya pengawalan penegakan hukum yang tegas, konsisten, dan berkelanjutan dalam pelaksanaan GG di Indonesia. Demikian juga, penegakan hukum harus dikawal dengan etika moral. Sebagai perangkat untuk menciptakan keadilan, sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam bukunya General Theory of Law and State (1965), hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral, dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral, demikian dikatakan oleh Jeffrie Murphy dan Jules Coelman dalam buku The Philosophy of Law (1984).
E. Penutup

Tata kelola pemerintahan yang baik memang merupakan sarana yang ideal untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil makmur dan bermartabat. Aturan hukum saja nampaknya tidak cukup untuk mencapai cita-cita ini, tanpa adanya kesadaran moral dari masyarakat, karena hukum sering direkayasa dan dilanggar. Oleh karena itu, prinsip-prinsip moral dan etika politik kepemimpinan juga harus diperhatikan dan dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam perangkat dan proses ingin menciptakan keadilan dalam masyarakat, maka unsur moral harus dipenuhi. Merujuk pada Filosuf Yunani, Aristoteles—yang cenderung menggunakan etika untuk menunjukkan filsafat moral—menjelaskan bahwa fakta moral adalah tentang nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati. (E.Y. Kanter, 2001:2). Moral mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Jadi, manusia dituntut untuk bertindak berdasarkan pada suara hati nuraninya.

Sebagai penutup, penulis mengingatkan tentang pentingnya etika politik dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik. Apa yang telah dikemukakan oleh Raja Ali Haji beberapa dekade yang lalu yang telah terekam dalam berbagai karyanya, khususnya Tsamarat al-muhimmah dan Muqaddima fi Intidzam tentang kriteria kepemimpinan yang ideal, sudah cukup menjadi pelajaran bagi pelaksana negara di Indonesia. Apabila prinsip-prinsip tersebut dapat dilaksanakan secara konsisten dan kontinyu, niscaya akan tercipta masyarakat yang adil, makmur, aman, dan tenteram; dan Indonesia akan menjadi bangsa yang maju dan bermartabat tinggi di mata bangsa-bangsa lain.
Daftar Pustaka

1. Buku dan Jurnal:

Effendi,  Tenas. 2002. Pemimpin dalam Ungkapan Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

________. 2005. Sopan-Santun Melayu: Bentuk dan Realitanya dalam Dunia Global. Malaysia: Akademi Pengajian Melayu.

________,  2006. Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Emirzon, Joni. 2007. Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance. Yogyakarta: Genta Press.

Haji, Raja Ali. 1887. Muqaddima fi Intizham. Daik Lingga.

________. 1886. Tsamarat al-Muhimmah. Daik Lingga.

Junus, Hasan. 2002. Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau.

_______. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Pekanbaru: UNRI Press.

Koentjaraningrat et.al. 2006. Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.

Mahdini. 2000. Etika Politik: Pandangan Raja Ali Haji dalam Tsamarat al-Muhimmah. Riau: Yayasan Pusaka Riau.

Nasution, Bismar. 2003. ”Peranan Birokrasi dalam Prinsi-prinsip Good Governance”, Makalah disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia “Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berkerja sama dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, tanggal 1-2 Oktober, Medan, Sumatra Utara.

Pringgodigdo, A.G. 1973. “Raja Ali Haji bin Raja Ahmad” dalam Ensiklopedi Umum, Yogyakarta: Yayasan Kanisius.

Saghir, Abdullah. 1984. Perkembangan Ilmu Fikh dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara. Solo: Ramadhani Press.

Shadik, Faishal. 2007. Politik Islam Melayu: Studi Pemikiran Raja Ali Haji 1808-1873. Tesis pada Program Studi Hukum Islam Konsenterasi Studi Politik dan Pemerintahan Dalam Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sham, Abu Hassan. 1995. Syair-syair Melayu Riau. Selangor: Malindo Press.

Sulaiman, Yamin. 2006. Pulau Penyengat. Tanjung Pinang: Lhondhaz Kreasi Insani Press.

Surya, Indra, dan Ivan Yustiavandana. 2006. Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usah. Jakarta: Kencana.

Syakhroza, Akhmad. 2003. “Reformasi Profesi Akuntansi Sektor Publik dan Good Government Governance” dalam E-journal USAHAWAN, No. 02, Tahun XXXII, Februari.

“Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan” dalam Buletin Partnership for Governance Reform in Indonesia Volume IV– 12 June 2000.
2. Internet:

Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. “Raja Ali Haji” dalam http://penyair. wordpress.com/2007/09/04/biografi-raja-ali-haji/ (dimuat pada tanggal 4 September 2007), diakses tanggal 8 Desember 2007.

“Beberapa Pemikiran Tentang Good Governance” dalam http://www.goodgovernance-bappenas.go.id, dikutip pada tanggal 26 Juli 2007.

http://personage.melayuonline.com (rubrik Tokoh Melayu), diakses tanggal 12 Desember 2007.

“Sukses Islam Semasa Kerajaan Melayu, Dulu” dalam http://www.bangrusli.net. (dimuat pada tanggal 6 Januari 2007), diakses pada tanggal 12 Desember 2007.

______________

Artikel ini terpilih sebagai pemenang ke-3 dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Tingkat Nasional “Pandangan Politik Orang Melayu” yang diselenggarakan oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) pada tahun 2007.

Imam Mustofa, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan Jawa Tengah.

Kredit foto : http://www.rajaalihaji.com

[1] Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX (Riau: Universitas Negeri Riau Press, 2002), hal. 8.

[2]Menurut sumber MelayuOnline.com, Raja Ali Haji lahir pada tahun 1808, http://personage.melayuonline.com (dalam rubrik Tokoh Melayu), diakses tanggal 12 Desember 2007. Lebih jelasnya lihat Abdullah Saghir, Perkembangan Ilmu Fikih dan Tokoh-tokohnya di Asia Tenggara (Solo: Ramadhani Press, 1984), hal. 128-9.

[3] Lihat lebih lanjut Hasan Junus, Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2002), hal. 37.

[4] http://personage.melayuonline.com (dalam rubrik Tokoh Melayu), diakses tanggal 12 Desember 2007.

[5] Lebih lanjut lihat Faishal Shadik, Politik Islam Melayu: Studi Pemikiran Raja Ali Haji 1808-1873, Tesis pada Program Studi Hukum Islam Konsenterasi Studi Politik dan Pemerintahan dalam Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007, hal. 51.

[6] Abu Hassan Sham, Syair-syair Melayu Riau (Selangor: Malindo Press, 1995), hal. 209. Lihat juga Faishal Shadik, Politik Islam Melayu……, hal. 51.

[7] Hasan Junus, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia (Pekanbaru: Universitas Negeri Riau Press, 2004), hal. 40.

[8] A.G. Pringgodigdo, “Raja Ali Haji bin Raja Ahmad” dalam Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), hal. 927. Lihat juga, Faishal Shadik, Politik Islam Melayu……., hal. 51. Akibat pertemuan Raja Haji Ahmad dengan Gubernur Jenderal Belanda ini, muncul sinyalemen bahwa secara politis, keluarga kerajaan Raja Haji mempunyai hubungan dengan kalangan Belanda.

[9] Lihat Wan Mohd. Abdullah Shaghir, “Raja Ali Haji” dalam http://penyair. wordpress.com/2007/09/04/biografi-raja-ali-haji/ (dimuat pada tanggal 4 September 2007), diakses pada tanggal 8 Desember 2007.

[10] Faishal Shadik, Politik Islam Melayu……., hal. 52.

[11] Wan Mohd. Abdullah Saghir, “Raja Ali Haji”.

[12] Lihat lebih lanjut Yamin Sulaiman, Pulau Penyengat (Tanjung Pinang: Lhondhaz Kreasi Insani Press, 2006), hal. 61-2.

[13] Hasan Junus, Sejarah Perjuangan…….., hal. 81.

[14] Faishal Shadik, Politik Islam Melayu……., hal. 49.

[15] Etika politik dalam tulisan ini adalah norma-norma yang harus dipegang dalam berpolitik, yaitu politik dalam arti hubungan antara seorang pemimpin dan masyarakat yang dipimpin. Mengenai etika moral Melayu dalam arti luas dapat dibaca Tenas Effendy, Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu Riau (Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2006); baca juga Koentjaraningrat et.al., Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan (Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2006).

[16] Tenas Effendy, Tunjuk Ajar Melayu…., hal. 65.

[17] Ibid., hal. 653.

[18] Ibid., hal. 65-6.

[19] “Sukses Islam Semasa Kerajaan Melayu, Dulu” dalam http://www.bangrusli.net (dimuat pada tanggal 6 Januari 2007), diakses pada tanggal 12 Desember 2007.

[20] Abdul Hadi, “Raja Ali Haji: Ulil Albab di Persimpangan Zaman” dalam Hasan Junus, Sejarah Perjuangan …………, hal. 311-12.

[21] Tenas Effendy, Tunjuk Ajar Melayu…., hal. 654.

[22] Lihat Raja Ali Haji, Tsamarat al-Muhimmah (Daik Lingga: 1886), hal. 7.

[23] Ibid., hal. 65.

[24] Judul lengkap karya ini adalah Tsamarat al-Muhimmah Dhiyafatan lil Umara>i wa al-Khubara>i li Ahl al- Mahkamah yang oleh pengarangnya diterjemahkan menjadi “buah-buahan yang dicita-citakan jadi jamuan bagi raja-Raja dan bagi orang-orang besar yang mempunyai pekerjaan di dalam tempat berhukum”. Dalam karya ini, Raja Ali Haji banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Ghazali dan al-Mawardi yang terkenal dengan kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah. Lihat Hasan Junus, Raja Ali Haji……., hal. 93. Kitab Tsamarat ini digolongkan dalam undang-undang dan pemerintahan yang isinya berupa petunjuk dan nasihat yang layak dan tidak layak bagi raja dan para penegak hukum, seperti hakim, kadi, dan wazir. Lihat Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan….., hal. 140.

[25] Lihat lebih lanjut dalam Raja Ali Haji, Tsamarat………, hal. 8

[26] Tenas Effendi,  Pemimpin dalam Ungkapan Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002), hal. 107.

[27] Ibid., hal. 110.

[28] Ibid., hal. 118.

[29] Ibid.

[30] Tenas Effendy, Tunjuk Ajar Melayu…., hal. 201-2.

[31] Mahdini, Etika Politik: Pandangan Raja Ali Haji dalam Tsamarat al-Muhimmah (Riau: Yayasan Pusaka Riau, 2000), hal. 50-1.

[32] Tenas Effendi,  Pemimpin….,hal. 31.

[33] Tenas Effendy, Tunjuk Ajar Melayu…., hal. 407.

[34] Lihat Faishal Shadik, Politik Islam Melayu……., hal. 95.

[35] Lebih lajut Raja Ali Haji, Tsamarat….…, hal. 8-9.

[36] Tenas Effendy, Sopan-Santun Melayu: Bentuk dan Realitanya dalam Dunia Global (Malaysia: Akademi Pengajian Melayu, 2005), hal. 45.

[37] Faishal Shadik, Politik Islam Melayu……., hal. 92.

[38] Raja Ali Haji, Muqaddima fi Intizham (Daik Lingga: 1887), hal. 2.

[39] Ibid., hal. 186.

[40] Ibid., hal. 3.

[41] Faishal Shadik, Politik Islam Melayu……., hal. 103.

[42] Raja Ali Haji, Muqaddima ……….., hal. 4.

[43] Lihat Mahdini, Etika Politik….,hal. 51.

[44] Suhadi, Risalah Dasar Filsafat Hukum, sebagaimana dikutip oleh Shadik, Politik Islam Melayu……., hal. 115.

[45] Raja Ali Haji, Muqaddima ………., hal.21

[46] Mengenai etika dan moral yang harus dipegangi oleh para penegak hukum dijelaskan di bagian kedua kitab Tsamarat al-Muhimmah.

[47] Lihat Raja Ali Haji, Tsamarat………, hal. 20-21.

[48] Hasan Junus, Raja Ali Haji: Budayawan….., hal.143.

[49] Akhmad Syakhroza, ”Reformasi Profesi Akuntansi Sektor Publik dan Good Governance” dalam E-journal USAHAWAN, No. 02, Tahun XXXII, Februari 2003. hal. 15.

[50] Ibid.

[51] Lihat dalam ”Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan” dalam Buletin Partnership for Governance Reform in Indonesia Volume IV–June 12, 2000, lihat juga dalam Beberapa Pemikiran tentang Good Governance, dalam http://www.goodgovernance-bappenas.go.id, dikutip pada 26 Juli 2007.

[52] Joni Emirzon, Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance (Yogyakarta: Genta Press, 2007), hal. 7.

[53] Bismar Nasution, ”Peranan Birokrasi dalam Prinsi-prinsip Good Governance”, Makalah disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia “Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berkerja sama dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatra Utara. hal. 1.

[54] Raja Ali Haji, Muqaddima ………., hal. 2.

[55]Lihat Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance: Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 10.

[56] Ibid., hal. 10.

[57] Bismar Nasution, ”Peranan Birokrasi …..”, hal. 2.

[58] Ibid.

[59] Ibid.

[60] Joni Emirzon, Prinsip-Prinsip Good…….., hal. 231.

 

Reformasi

Standar

Saya sedikit bingung ketika kemarin sore seorang teman meminta kepada saya untuk membuatkan puisi atau tulisan apalah tentang ulang tahun bangkitnya reformasi Karena saya sendiri masih merasa belum mengerti arti kata reformasi itu sendiri.

Semalaman otak saya terus saja bekerja berusaha mengingat-ingat tentang hal itu Dan hasilnya nihil alias nol Karena tak ada satupun kata yang muncul tentang reformasi Huh….lebih baik saya tidur saja, toh saya sudah mengantuk.

Ketika terbangun, entah mengapa yang terlintas dalam pikiran saya adalah membuka kamus lalu mencari kata reformasi lalu menemukan artinya Yap…akhirnya saya menemukannya Ternyata yang tertulis tentang reformasi adalah, yang berarti noun atau kata benda, perubahan secara drastic untuk perbaikan (bidang social, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau Negara.

Dan kembali saya berkompromi dengan otak saya. Jika yang dimaksud reformasi adalah seperti di atas, lalu apa yang didengungkan orang-orang selama ini tentang reformasi? Perubahan secara drastic untuk perbaikan dalam suatu Negara yang bagaimana yang mereka maksud? Atau mungkin mereka sebenarnya juga tidak tahu arti reformasi seperti saya?

Jika mereka tahu artinya, tapi kenapa yang terjadi ketika reformasi adalah seperti ini? Ketika nama Elang Mulya Lesmana, Hafidin Royan, Hendrawan Sie, dan Heri Hertanto hanya sia-sia saja mengorbankan nyawanya? Ketika dengan sekuat tenaga para sahabat-sahabat kita yang kemudian kita sebut sang pahlawan reformasi itu gugur di tangan para penegak hukum? Ketika tanggal 12 mei 1998 terlanjur dinodai darah cinta mereka pada negeri tercinta ini? Apa itu reformasi? Ketika para petani masih berharap akan ada bulir padi di sawahnya? Ketika para nelayan masih berharap akan ada ikan yang terkait di kailnya? Ketika para buruh masih berharap akan ada karung-karung beras untuk diangkutnya? Ketika para tukang becak masih berharap akan ada orang yang menumpangnya? Ketika para pengemis masih beharap ada sekeping logam yang jatuh ke tangannya? Yang mana yang kalian katakan tentang reformasi? Apa ketika para politikus berlomba-lomba beradu argumentasi? Apa ketika para wakil rakyat berbondong-bondong mencari muka di depan pemilihnya? Apa ketika para mahasiswa berdemo berkoar-koar mengenai ideologinya? Apa ketika para pengusaha dengan bangga mengendarai mobil mewahnya? Apa ketika para pejabat dengan pongah membelanjakan uang korupsinya? Yang mana?

Saya benar-benar tak tahu Yang ada dalam pikiranku mengenai reformasi adalah: Ketika para politikus tak hanya bicara tentang pemikiranya. Ketika para wakil rakyat berlomba menyejahterakan rakyatnya. Ketika para pengusaha dengan bijak membahagiakan pekerjanya. Ketika para pejabat tak lagi berfikir tentang uangnya. Dan ketika semua pemimpin mampu menciptakan senyum di wajah orang yang dipimpinnya. Hanya itu yang ada di dalam pikiran saya saat ini. Tapi ketika saya melihat kenyataan bahwa masih ada petani, nelayan, buruh, dan pengemis juga tetangga saya menangis kelaparan karena tak punya uang untuk membeli beras, apa itu yang terjadi pada 11 tahun kebangkitan reformasi?

Argh… Saya tak sanggup lagi berfikir Sepertinya lebih baik saya tidur, dan kembali merangkai mimpi-mimpi saya tentang negeri yang makmur sejahtera dan berharap ketika nanti saya terbangun semua mimpi saya menjadi nyata.

ETIKA PROFESI HUKUM

Standar

Manusia Mahluk Budaya
Bertitik tolak dari iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia percaya bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Tuhan.Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang yang paling sempurna karena dilengkapi oleh penciptanya dengan akal, perasaan dan kehendak.
Akal adalah alat berpikir , sebagai sumber ilmu dan teknologi. Dengan akal inilah manusia manusia menilai mana yang benar dan yang salah sebagai sumber nilai kebenaran .
Perasaan adalah alat untuk menyatakan keindahan sebagai sumber seni, sehingga dengan perasaan orang manusia menilai mana yang indah dan mana yang jelek sebagai sumber nilai keindahan.
Sedangkan kehendak adalah alat untuk menyatakan pilihan, sebagai sumber kebaikan. Sehingga dengan kehendak manusia menilai mana yang baik dan yang buruk , sebagai sumber nilai moral.
Manusia dalam kehidupannya sudah menyadari bahwa yang benar, yang indah dan yang baik itu menyenangkan , membahagiakan, menenteramkan dan memuaskan manusia. Sebaliknya yang salah, yang jelek, dan yang buruk itu menyengsarakan , menyusahkan, dan membosankan manusia. Dari dua sisi yang bertolak belakang ini manusia adalah sumber penentu yang menimbang, menilai, memutuskan yang paling menguntungkan (nilai Moral).
Soren Kierkegaard seorang filsuf Denmark pelopor ajaran eksistensialisme memandang bahwa eksistensi manusia dalam kontek kehidupan konkret adalah makhluk alamiah yang terikat dengan lingkungannya, memiliki sifat-sifat alamiah dan tunduk pada hukum alamiah. Kehidupan manusia bermula dari tarap estetis, kemudian meningkat ketarap etis, dan terakhir taraf religius.
Pada taraf kehidupan etis manusia mampu menangkap alam sekitarnya sebagai alam yang mengagumkan dan mengungkapkannya kembali sebagai bentuk karya seni seperti lukisan,tarian nyanyian dll.
Pada taraf kehidupan etis, manusia meningkatkan kehidupan estetis ketaraf manusiawi dalam bentuk perbuatan bebas dan bertanggung jawab (nilai moral).
Pada taraf kehidupan religius manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan penciptanya dalam bentuk takwa dimana makin dekat manusia dengan Tuhannya maka makin dekat pula dia pada kesempurnaan hidup dan semakin jauh dari kegelisahan dan keraguan.
Theo Huijbers juga menyatakan bahwa martabat manusia itu menunjukkan bahwa manusia itu sebagai makhluk yang istimewa yang tiada bandingannya di Dunia. Keistimewaan tersebut tampak pada pangkatnya, bobotnya, relasinya, fungsinya sebagai manusia, bukan sebagai manusia individu melainkan sebagai anggota kelas manusia, yang berbeda dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Sehingga dalam arti Universal semua manusia bernilai dan sesuai dengan nilainya itu maka manusia harus dihormati.
Nilai dapat diartikan sebagai ukuran yang disadari atau tidak disadari oleh suatu masyarakat atau golongan untuk menetapkan apa yang benar , yang baik dan sebagainya. Nilai merupakan dasar bagi norma, dan norma adalah anggapan bagaimana seseorang harus berbuat atau tidak berbuat.
Apabila dihubungkan dengan kegiatan Profesi hukum, maka kebutuhan manusia untuk memperoleh layanan hukum juga termasuk dalam lingkup dimensi budaya perilaku manusiawi yang dilandasi oleh nilai moral dan nilai kebenaran. Atas dasar ini, adalah beralasan bagi pengemban profesi hukum untuk memberikan layanan bantuan hukum yang sebaik-baiknya kepada klien yang membutuhkannya. Hak untuk memperoleh layanan dan kewajiban untuk memberikan layanan dibenarkan oleh dimensi budaya manusia. Namun dalam kenyataannya, manusia menyimpang dari dimensi budaya tersebut sehingga perilaku yang ditunjukkannya justru melanggar nilai moral dan nilai kebenaran yang seharusnya dia junjung tinggi.

Mengapa terjadi pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran ?
Terjadinya pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran karena kebutuhan ekonomi yang terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikhis yang seharusnya berbanding sama .
Usaha penyelesaiannya adalah tidak lain harus kembali kepada hakikat manusia dan untuk apa manusia itu hidup. Hakikat manusia adalah makhluk budaya yang menyadari bahwa yang benar , yang indah dan yang baik adalah keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikhis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia.
Kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan rohani tercapai dalam keadaan seimbang artinya perolehan dan pemanfaatan harta kekayaan terjadi dalam suasana tertib, damai dan serasi (nilai etis, moral).

Tetapi karena manusia mempunyai keterbatasan, kelemahan, seperti berbuat khilaf, keliru,maka tidak mustahil suatu ketika akan terjadi penyimpangan atau pelanggaran kaidah sosial yang menimbulkan keadaan tidak tertib, tidak stabil, yang perlu dipulihkan kembali.
Untuk menegakkan ketertiban dan menstabilkan keadaan diperlukan sarana pendukung, yaitu organisasi masyarakat dan organisasi Negara. Dalam bidang hukum organisasi masyarakat itu dapat berupa organisasi profesi hukum yang berpedoman pada kode etik.Dalam bidang kenegaraan , organisasi masyarakat itu adalah negara yang berpedoman pada Undang –Undang (hukum positip). Hukum positif merupakan bentuk konkret dari sistem nilai yang hidup dalam masyarakat.

ETIKA

Etika adalah salah satu bagian dari filsafat. Filsafat sebagai suatu interpretasi tentang hidup manusia mempunyai tugas meneliti dan menentukan semua fakta konkret sampai pada dasarnya yang mendalam.

ARTI ETIKA

Bertens (1994) menjelaskan, Etika berasal dari bahasa Yunani kuno ethos dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak dari ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak ini terbentuklah istilah Etika yang oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 BC) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal-usul kata ini, maka Etika berarti ilmu tentang apa yang bias dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), Etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu :
(1)Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
(2)Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
(3)Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Bertens mengemukakan bahwa urutan tiga arti tersebut kurang kena, sebaiknya arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih mendasar dari pada arti pertama dan rumusannya juga bisa dipertajam lagi.
Dengan demikian, menurut Bertens tiga arti Etika dapat dirumuskan sebagai berikut :
(1)Etika dipakai dalam arti : nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya Etika orang Jawa. Etika agama Budha.
(2)Etika dipakai dalam arti : kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik, misalnya Kode Etik Advokat Indonesia, Kode Etik Notaris Indonesia.
(3)Etika dipakai dalam arti : ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti Etika di sini sama dengan filsafat moral.
Dihubungkan dengan Etika Profesi Hukum, Etika dalam arti pertama dan kedua adalah relevan karena kedua arti tersebut berkenaan dengan perilaku seseorang atau kelompok profesi hukum. Misalnya advokat tidak bermoral, artinya perbuatan advokat itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam kelompok profesi advokat. Dihubungkan dengan arti yang kedua, Etika Profesi Hukum berarti Kode Etik Profesi Hukum.
Pengertian Etika juga dikemukakan oleh Sumaryono (1995), menurut beliau Etika berasal dari istilah bahasa Yunani ethos yang mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian ini kemudian Etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Selain itu, Etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi, Etika dapat dibedakan antara Etika perangai dan Etika moral.

1.Etika Perangai
Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat di daerah-daerah tertentu. Pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati masyarakat berdasarkan hasil penilaian perilaku. Contoh Etika perangai adalah :
(a)Berbusana adat
(b)Pergaulan muda-mudi
(c)Perkawinan semenda
(d)Upacara adat

2.Etika Moral
Etika moral berkenaan dengan kebiasaan berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia. Apabila Etika ini dilanggar timbulah kejahatan, yaitu perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral. Contoh Etika moral adalah :
(a)Berkata dan berbuat jujur
(b)Menghargai hak orang lain
(c)Menghormati orang tua atau guru
(d)Membela kebenaran dan keadilan
(e)Menyantuni anak yatim / piatu
Etika moral ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran adalah suatu hati nurani. Dalam kehidupan manusia selalu dikehendaki yang baik dan benar. Karena ada kebebasan kehendak, maka manusia bebas memilih antara yang baik dan tidak baik, antara yang benar dan tidak benar. Dengan demikian, dia mempertanggungjawabkan pilihan yang telah dibuatnya itu. Kebebasan kehendak mengarahkan manusia untuk berbuat baik dan benar. Apabila manusia melakukan pelanggaran Etika moral, berarti dia berkehendak melakukan kejahatan, dengan sendirinya pula berkehendak untuk dihukum. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara nilai moral dijadikan dasar hukum positif yang diciptakan oleh penguasa.

3.Etika dan Etiket
Penggunaan kata Etika dan Etiket sering dicampuradukkan. Padahal antara kedua istilah tersebut terdapat perbedaan yang sangat mendasar walaupun ada juga persamaannya. Kata Etika berarti moral, sedangkan kata Etiket berarti sopan santun, tata krama. Persamaan antara kedua istilah tersebut adalah keduanya mengenai perilaku manusia. Baik Etika maupun Etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma perilaku manusia bagaimana seharusnya berbuat atau tidak berbuat.
Di samping persamaan tersebut, Bertens (1994) mengemukakan empat perbedaan seperti diuraikan berikut ini :
(a)Etika menetapkan norma perbuatan, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak, misalnya masuk rumah orang lain tanpa izin. Bagaimana cara masuknya, bukan sosial.
Etiket menetapkan cara melakukan perbuatan, menunjukkan cara yang tepat, baik dan benar sesuai dengan yang diharapkan.
(b)Etika berlaku tidak bergantung pada ada tidaknya orang lain, misalnya larangan mencuri selalu berlaku, baik ada atau tidak ada orang lain.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, jika tidak ada orang lain hadir, etiket tidak berlaku, misalnya makan tanpa baju.
Jika makan sendiri, tanpa orang lain, sambil telanjang pun tidak jadi masalah.
(c)Etika bersifat absolut, tidak dapat ditawar-tawar, misalnya jangan mencuri, jangan membunuh.
Etiket bersifat relatif, yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Contoh memegang kepala orang lain, di Indonesia tidak sopan tetapi di Amerika biasa saja.
(d)Etika memandang manusia dari segi dalam (batiniah), orang yang bersikap etis adalah orang yang benar-benar baik, sifat-sifatnya tidak bersikap munafik.
Etiket memandang manusia dari segi luar (lahiriah), tampaknya dari luar sangat sopan kemunafikan, musang berbulu ayam. Penipu berhasil dengan niat jahatnya karena penampilannya begitu halus dan menawan hati, sehingga mudah meyakinkan korbannya.

ARTI MORAL

Sebagaimana dijelaskan oleh, Bertens (1994) kata yang sangat dekat dengan Etika adalah “moral”. Kata ini berasal dari bahasa latin mos, jamaknya mores yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata Etika sama dengan kata moral, keduanya berarti adat kebiasaan. Perbedaannya hanya pada bahasa asalnya. Etika berasal dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa latin.
Dengan merujuk kepada arti kata Etika yang sesuai, maka arti kata moral sama dengan arti kata Etika, yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Apabila dikatakan : “Advokat yang membela perkara itu tidak bermoral”, artinya perbuatan advokat itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam kelompok profesinya. Apabila dikatakan : Dosen itu bermoral bejat”, artinya dosen itu berperilaku tidak baik dan tidak benar, tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma pegangan dosen. Moralitas berasal dari bahasa Latin moralis yang pada dasarnya mempunyai arti sama dengan moral, tetapi lebih bersifat abstrak. Moralitas suatu perbuatan artinya segi moral atau baik buruknya suatu perbuatan. Moralitas adalah keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Dengan kata lain, moralitas merupakan kualitas perbuatan manusiawi, dalam arti perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah. Misalnyamoralitas kolusi para hakim dengan pihak berperkara adalah buruk, sedangkan moralitas putusan hakim yang sesuai dengan rasa keadilan adalah baik.

1.Faktor Penentu Moralitas
Sumaryono (1995) mengemukakan tiga faktor peu moralitas perbuatan manusia, yaitu :
(a)Motivasi
(b)Tujuan akhir
(c)Lingkungan perbuatan
Perbuatan manusia dikatakan baik apabila motivasi, tujuan akhir, dan lingkungannya juga baik. Apabila salah satu faktor penentu tersebut tidak baik, maka keseluruhan perbuatan manusia menjadi tidak baik.
Motivasi adalah hal yang diinginkan oleh pelaku perbuatan dengan maksud untuk mencapai sasaran yang hendak dituju. Jadi, motivasi itu dikehendaki secara sadar, sehingga menentukan kadar moralitas perbuatan. Sebagai contoh ialah kasus pembunuhan dalam keluarga.
(a)Yang diinginkan pembunuh adalah matinya pemilik harta yang berstatus sebagai pewaris.
(b)Sasaran yang hendak dicapai adalah penguasaan harta warisan
(c)Moralitas perbuatan adalah salah dan jahat
Tujuan akhir (sasaran) adalah diwujudkannya perbuatan yang dikehendaki secara bebas. Moralitas perbuatannya ada dalam kehendak perbuatan itu menjadi objek perhatian kehendak, artinya memang dikehendaki oleh pelakunya. Sebagai contoh ialah kasus pembunuhan dalam keluarga yang telah dikemukakan di atas :
(a)Perbuatan yang dikehendaki dengan bebas (tanpa paksaan) adalah membunuh).
(b)Diwujudkannya perbuatan tersebut terlihat pada akibatnya yang diinginkan pelaku, yaitu maunya pemilik harta pewaris).
(c)Moralitas perbuatan adalah kehendak bebas melakukan perbuatan salah dan jahat.
Lingkungan perbuatan adalah segala sesuatu yang secara aksidental mengelilingi atau mewarnai perbuatan. Termasuk dalam pengertian lingkungan perbuatan adalah :
(a)Manusia yang terlibat
(b)Kuantitas dan kualitas perbuatan
(c)Cara, waktu, tempat dilakukannya perbuatan
(d)Frekuensi perbuatan
Hal-hal ini dapat diperhitungkan sebelumnya atau dapat pula dikehendaki ada pada perbuatan yang dilakukan secara sadar. Lingkungan ini menentukan kadar moralitas perbuatan yaitu baik atau jahat benar atau salah.

2.Moralitas Sebagai Norma
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi, sehingga perbuatan itu dinyatakan baik atau buruk, benar atau salah. Penentuan baik atau buruk, benar atau salah tentunya berdasarkan norma sebagai ukuran. Sumaryono (1995) mengklasifikasikan moralitas itu menjadi dua golongan, yaitu :
(a)Moralitas objektif, dan
(b)Moralitas subjektif
Moralitas objektif adalah moralitas yang melihat perbuatan sebagaimana adanya, terlepas dari segala bentuk modifikasi kehendak bebas pelakunya. Moralitas ini dinyatakan dari semua kondisi subjektif-khusus pelakunya, misalnya kondisi emosional yang mungkin menyebabkan pelaku lepas kontrol, apakah perbuatan itu memang dikehendaki atau tidak. Moralitas objektif sebagai norma berhubungan dengan semua perbuatan yang pada hakikatnya baik atau jahat, benar atau salah, misalnya :
(a)Menolong sesama manusia adalah perbuatan baik
(b)Mencuri, memperkosa, membunuh adalah perbuatan jahat
Tetapi pada situasi khusus, mencuri atau membunuh adalah perbuatan yang dapat dibenarkan jika untuk mempertahankan hidup atau membela diri. Jadi, moralitasnya terletak pada upaya untuk mempertahankan atau membela diri (hak untuk hidup adalah hak asasi).
Moralitas subjektif adalah moralitas yang melihat perbuatan sebagai dipengaruhi oleh pengetahuan dan perhatian pelakunya, latar belakang, stabilitas emosional, dan perlakuan personal lainnya. moralitas ini mempertanyakan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nurani pelakunya. Moralitas sujektif sebagai norma berhubungan dengan semua perbuatan yang diwarnai oleh niat pelakunya niat baik atau jahat. Dalam musibah kebakaran misalnya, banyak orang membantu menyelamatkan harta benda korban, ini adalah baik. Tetapi jika tujuan akhirnya adalah mencuri harta benda karena tak ada melihat, maka perbuatan tersebut adalah jahat. Jadi, moralitasnya terletak pada niat pelakunya.
Moralitas dapat juga intrinsic atau ekstrinsik. Moralitas intrinsic menentukan perbuatan itu benar atau salah berdasarkan hakikatnya, terlepas dari pengaruh hukum positif. Artinya penentuan benar atau salah perbuatan tidak bergantung pada perintah atau larangan hukum positif. Misalnya :
(a)Gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal
(b)Jangan menyusahkan orang lain
(c)Berikanlah apa yang terbaik
Walaupun undang-undang tidak mengatur, perbuatan-perbuatan tersebut secara intrinsic menurut hakikatnya adalah baik dan benar.
Moralitas ekstrinsik menentukan perbuatan itu benar atau salah sesuai dengan sifatnya sebagai perintah atau larangan hukum positif misalnya :
(a)Larangan menggugurkan kandungan
(b)Wajib melaporkan adanya permufakatan jahat
Perbuatan-perbuatan ini diatur oleh undang-undang (KUHP). Jika ada yang menggugurkan kandungan atau tidak melapor kepada yang berwajib adanya permufakatan jahat, maka perbuatan tersebut salah.
Pada zaman modern mulai muncul perbuatan yang berkenaan dengan moralitas, yang tadinya dilarang sekarang malah dibenarkan. Contohnya adalah :
(a)Euthanasia untuk menghindarkan penderitaan berkepanjangan
(b)Aborsi untuk keselamatan itu yang hamil
(c)Menyewa rahim wanita untuk membesarkan janin bayi tabung
Jika terjadi tuntutan yang tidak diinginkan, muncul masalah hukum yang akan menyatakan bahwa aspek moral ini dapat dibenarkan atau tidak. Etika profesi hukum akan membahas aspek-aspek moral yang terkandung dalam profesi penegak hukum, mana yang didahulukan, motivasi mencari uang atau melayani pencari keadilan.
Persoalan moralitas hanya relevan apabila dikaitkan dengan manusia seutuhnya. Menurut Driyarkara (1969), manusia seutuhnya adalah manusia yang memiliki nilai pribadi, kesadaran diri dan dapat menentukan dirinya dilihat dari setiap aspek kemanusiaan. Tidak setiap perbuatan manusia dapat dikategorikan ke dalam perbuatan moral. Perbuatan itu bernilai moral apabila didalamnya terkandung kesadaran dan kebebasan kehendak pelakunya. Kesadaran adalah suara hati nurani dan kebebasan kehendak berdasarkan kesadaran.